Minggu, 05 Desember 2010

PERBANDINGAN PENDIDIKAN MASA MISIONARIS DENGAN MASA KINI DI KABUPATEN DEIYAI

Pendidikan di daerah TIGI, pada awalnya  tidak begitu terkenal oleh masyarakat setempat(TIGI), namun demikian beberapa tahun kemudian para Misionaris masuk di tanah Papua pada umumnya dan pada khusunya di daerah TIGI. Para Misioner membangun Gereja di beberapa tempat di  daerah pegunungan yakni Deiyai, Dogiyai, Mapia, Paniai, Bilogai, Wamena, dan seluruh Papua pada umumnya. Para Misionaris membuka Gereja dan Sekolah Yayasan. Dahulunya di seluruh tanah Papua  dikenal  dengan Sekolah Yayasan, dan pada waktu itu pun sekolah yayasan sebagai sekolah bermutu.

Pada saat itu para Misionaris  memaksa anak-anak untuk sekolah, para misionaris mulai mengelilingi dari rumah ke rumah untuk mengajak anak-anak masuk sekolah, akan tetapi manusia pada waktu itu begitu belum  mengenal dunia pendidikan dan belum tahu dampak positif dari  pendidikan maka banyak orang yang tidak setujuh untuk mengikuti pendidikan di sekolah. Namun demikian ada beberapa orang yang tertarik dengan dunia pendidikan  dan mulai masuk sekolah dasar yang hanya tiga(03) kelas saja. Beberapa orang tersebut diantaranya yang saya kenal adalah: Paulaus Ukago  sebagai guru pertama di Papua bagian pengunungan (Paniai,Tigi, Kamu, dan Mapia) Paulaus Ukago adalah  seorang perintis jalan bagi manusia Papua.

Pada tahun 70- an banyak orang yang mulai berbondong-bondong masuk sekolah, mereka adalah guru-guru tua yang masih mengajar sampai sekarang bahkan ada yang sudah meninggal dunia dengan berbedacara. Dengan perjuangan  dan bekerja keras mereka menyelesaikan pendidikan dan mendapat SK untuk mengajar di sekolah dasar, dan SMP. Akhirnya mereka mulai bekerja sama dengan GEREJA untuk membuka sekolah YPPK di beberpa daerah seperti:SD YPPK DIYAI, SD YPPK AIYATEI, SD YPPK WIDIMEI, SD YPPK KIGOU, SD YPPK WAGETHE, SD YPPK KOGEMANI, SD YPPK YINUDOBA, SD YPPK YAGUU, SD YPPK YABA, SD YPPK EDAGOTADI,

Ketika pemeritah masuk di tanah papua banyak sekolah sekolah IMPRES dan NEGERI yang di buka di wilaya PANIAI, TIGI, KAMU, MAPIA. Keunikan pada masa misionaris adalah sangat menonjol melalui: kedisplinan, keaktifan, dan ketegasan. Pada tahun 70-an  sekolah yayasan hampir macet karena kurangnya tenaga guru untuk mengajar di sebuah sekolah, walaupun gedungnya sudah didirikan yang bagus-bagus. Kadang di satu sekolah di pengang(mengajar) oleh satu guru saja, semua mata pelajaran diajarkan oleh satu guru saja karena kurangnya  tenaga Guru bahkan sampai satu guru saja mengajar dua sekolah.
Namun pada waktu itu kurangnya tenaga guru dan fasilitas sekolah, mereka punya daya ingat atau daya tangkapnya sangat kuat akhirnya mereka bisa selesaikan pendidikan dengan baik. Pada tahun 90-an banyak orang yang menyelesaikan pendidikan JURUSAN perguruan PGSD dan mereka mulai membagi wilayah, ada yang menuju ke Pania,Tigi, Kamuu dan ada pula yang menuju ke Mapia untuk melancarkan proses belajar-mengajar di daerah-daerah tersebut demi membangun.

POTENSI SUMBER DAYA MANUSIA pada SUKU MEE.
Namun demikian kata orang yang saya pernah dengar adalah : tahun 90-an sampai tahun 97-an banyak guru yang tidak mengajar dengan baik, dalam satu minggu hanya masuk satu kali atau hanya dua kali bahkan dalam satu bulan pun mereka tidak pernah datang di sekolah untuk mengajar anak-anak.
Ketika terbentuknya kabupaten PANIA banyak orang yang menyelesaikan pendidikan  dalam berbagai macam jurusan. Di setiap tahun  MANUSIA MEE selesai dari KPG/SPG dan PGSD  mulai meningkat kira-kira lebih dari dua atau tiga ratus orang yang selesai. Namun kata masyarakat setempat bahwa: sekian ratus orang ini tidak tahu hilang kemana? Karena di lapangannya tidak ada bukti,tidak datang mengajar di sekolah. Kami biasa kaget ketika mereka demo di kantor dinas P dan P untuk meminta GAJI dicairkan atau dibagi.

Cara seperti ini masih membawa generasi ke generasi hingga kini pun masih dilakukan demikian di setiap sekolah yang ada di Papua bagian pegunungan pada umumnya dan pada khususnya di DAERAH TIGI yang sekarang dijadikan sebagai KABUPATEN DEIYAI. pemerintah juga harus benar-benar menggunakan dana yang sudah dialokasikan dari pemerintah pusat, apabila gaji guru,  harus dicairkan pada tanggal yang sudah ditentukan agar proses belanjar-mengajar di sekolah tidak terhambat, dengan melihat kenyataan selama ini semua guru SD maupun SMP setiap hari mereka selalu datang antri di kota Enarotali menuntut gaji, ini sebenarnya bukan kesalahan dari para guru, melainkan kesalahan dari pemerintah. Maka pesan saya kepada pemerintah khususnya bidang P dan P  harus dicairkan pada tanggal yang sudah ditentukan, demi menjaga proses belajar-mengajar di sekolah pada daerah-daerah yang jauh dari kota Enarotali. Kiranya hal seperti ini tidak terjadi di kabupaten Deiyai.
 
Saya sebagai mahasiswa asal DEIYAI  memohon agar dengan pemekaran kabupaten Deiyai ini pendidikan di kabupaten Deiyai harus diperhatikan baik-baik oleh Pemerintah dan  Gereja.  Untuk membangun SUMBER DAYA MANUSIA melalui pendidikan,  pemerintah harus bekerja sama dengan GEREJA dan masyarakat setempat karena pendidikan adalah salah satu cara untuk mengurangi garis kemiskinan di tanah Papua pada umumnya dan pada khususnya KABUPATEN DEIYAI. Kiranya melalui pemekaran kabupaten Deiyai ini Pemerintah, Agama dan Masyarakat betul-betul menyadari akan penting pendidikan di kabupaten Deiyai  demi membangun SDM pada masyarakat Deiyai pada khususnya dan pada umumnya masyarakat Papua yang tertindas dari kekejaman dan kekerasan oleh orang luar(non papua).

GROUP PENULIS PEMULA
Oleh Donatus Mote

“SENDIRIKAH KITA DALAM PENDERITAAN?”

Kini seolah-olah kita kembali ke sejara Simbol-simbol kebudayaan ekonomi dan militer Amerika di hancurkan para pejuan bunu diri yang menunjukan bahwa pada saat ini peradaban dapat di jadikan sasaran terror yang tak terbayangkan. Di sini, nampak manusia yang bertujuan menciptakan penderitaan manusia, menyimbulkan luka-luka yang mematikan terhadap diri sendiri dan terhadap musu yang lain.
Banyak orang memiliki akses yang baik pada perawatan kesehatan dan konsekuensinya, untuk hidupnya lebih panjang, tetapi keadaan seperti ini telah membentuk suatu sikap didalam lingkaran yang memiliki hak istimewa. Rasa sakit dan penderitaan setiap manusia selalu menghantuhi bahkan kematian sendiri dari pandangan sebagai suatu siklus alamiah, dibicarakan nada yang sunyi. Kematian merupakan suatu musuh rahasia yang telah mengambil seseorang secara tiba-tiba. Sekali pun begitu pengalaman kematian sama seringnya dengan pegalaman manusia dilahirkan.
Kini tahun 2010/2011 semakin melonjak menyelang korban di PAPUA mencapai ribuan nyawa, begitu saja mengilang. Andaikan alam ini bernyawa, kita katakan biarkan kami, kami mau hidup kedua kali lagi. Kini, kita bertanya, kemanakah kita pergi dan sandari?. Tanahku tercinta Wasior, Leren Merapi, Mentawai, kini engkau Tidak menyapa seperti yang semula melainkan engkau datang sekejap membawah seribu Harta dan Nyawa begitu sekejap pula hilang.
Penderitaan berada dalam struktur kehidupan kita. Tiada kehidupan rasa sakit emtal, fisik, emosional, enta spritual, begitulah cara kita berada. Kesulitan yang menggangu kita siap dan bertahan mengadapi masalah-masalah yang akan datang kedalam hidup kita tanpa bisa di hindari lagi. Meskipun lebih realitis dan lebih sehat masih meninggalkan pertanyaan bagi kita, mengapa ada penderitaan?, di tempat pertama, bagaimana bisa Allah yang penuh cinta itu membiarkan dunia penderitaan yang tetap ada?. Ada suatu kesepian dalam penderitaan, terasa seperti seolah-olah kitalah yang satu-satunya menderita. Kita merasa orang lain baik-baik saja dan pulah mereka tampak utuh hanya dunia kita sendirilah yang hancur hidup terus berjalan bagi orang lain, hidup kita berhenti.
James Jones penulis buku berjudul Why Do People Suffer?, tampaknya ingin mendedikasikan dirinya untuk membantu kita mengurai fakta dari tiap sakit dan derita kita, setelah itu, kita diajak untuk menemukan makna terdalam dibaliknya, dengan menyertakan pengalang-pegalan ayat dalam alkitab. Dengan inspirasi ini, menyatakan bahwa sakit dan derita adalah jalan agar kita lebih mensyukuri saat-saat bahagia.

Oleh ( Yulius Pekei, Mahasiswa PBSID, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta ).