Sabtu, 27 Juli 2013

GURU dan DOSEN YANG BIJAKSANA!

27 Juli 2013 pukul 16:28 Seorang guru dikatakan bijaksana apabila dalam menghadapi setiap persoalan senantiasa mempertimbangkan dengan akal sehat dan mendasarkannya pada ilmu pengetahuan. Ia tidak reaktif dan emosional. Misalnya, apabila ia menghadapi siswa yang melakukan kesalahan, ia tidak dengan serta-merta menyalahkan, mencela, memaki, dan menghukum siswa. Dengan tenang dan penuh kesabaran, ia mengumpulkan berbagai bukti secara objektif. Setelah bukti tersebut ditemukan, ia mempertimbangkan kemanfaatan, baik bagi siswa yang melakukan kesalahan tersebut maupun bagi kebaikan umum. Guru bijaksana merancang dan melaksanakan pembelajaran seuai dengan kemampuan dan keadaan siswa-siswinya. Ia tidak memaksakan kehendaknya sendiri pada anak-anak. Ia tidak berlebihan dalam memberikan tugas, tapi disesuaikan dengan kebutuhan dan keperluan siswa. Secara umum, para siswa menyukai guru yang bijaksana. Mengapa demikian? Sebab, dari guru bijaksana mereka mendapatkan pelajaran untuk kehidupannya. Mereka merasa diperlakukan secara manusiawi, tidak semena-mena. Berbeda halnya degan guru yang tidak bijaksana. Guru tidak bijaksana memperlakukan siswa semaunya, menurut perasaannya. Jika tidak menyukai siswa tertentu, guru tidak bijaksana akan meindasanya, terutama secara psikologis. Guru tidak bijaksana kan terjerumus ke dalam perbuatan merusakkan mentalitas siswa tanpa disadari. Ia akan memperlakukan siswa seperti memperlakukan orang dewasa lain yang tidak disukai. Bahkan ia bisa lupa bahwa tugas dirinya adalah memperbaiki siswa bukan merusakkannya. Ada yang berpendapat bahwa bijaksana berarti melanggar hukum. Pendapat ini tentu saja tidak dapat dibenarkan. Bijaksana bukan melanggar hukum. Justru bijaksana berarti melaksanakan hukum sesuai dengan kebutuhan dan keperluan. lain kali akan lanjut pembicaraan mendalamnya hehheheheheheh. Yulius.K.Pekei.

Selasa, 23 Juli 2013

Pegangan Hidup Bersama TOUYEMANA (Gai, Dimi gai dan Touye dalam kehidupan suku Mee Di Meuwodide Papua)

Oleh : Manfred Chrisantus Mote Penyunting : Yulius K. Pekei, Jhon Giyai Desain sampul : Cermin Papua Tata Letak : Tobapai – Umagi Pekei Lay-out : Yulius. K. Pekei Cetakan pertama, Agustus 2013 Penerbit : CERMIN PAPUA Buku ini pemaparan komprehensif tentang “GAI,DIMI GAI dan TOUYE’ pada etnis Mee. Ketiga konsep pemikiran itu secara logis, sistematis, koheren dan terstruktur dibahasnya. Etnis Mee sendiri sebagai tradisi sehingga selalu dipikirkan, diperbincangkan, dialami, dihayati, dilakukan dan dipraktekkan. Buku ini juga memungkinkan tercipta-nya suasana ‘Intern Papua’s Etnic Cultural Communication’ demi terjadinya suatu kebangkitan kebudayaan Papua. Kiranya tulisan ini dapat dimanfaatkan oleh kaum akademisi sebagai salah satu referensi dalam rangka mata kuliah etnografi Papua atau sejenisnya. Selanjudnya sebagai masukan pemikiran bagi para teolog-teolog muda Papua, pejabat pemerintah di daerah, teristimewa bagi para perencana dan pelaksana pembangunan dan petugas pelayanan sosial-kemasyarakatan, agar di dalam pelaksanaan tugas-tugasnya tidak melupakan penerapan pendekatan sosio-budaya atau sosio-kemasyarakatan atau pendekatan kemanusiaan yang sering disebut juga sebagai ‘Humanistic Approach’ dan ‘Socio-Cultural Appropach’ yang disertai dengan ‘Bottom Up Planning Procceces. Yulis.K.Pekei’
.