Rabu, 30 Juni 2010

PUISI: black brothers,george telek,dan para penyanyi perjuangan papua. Bagik

PUISI: black brothers,george telek,dan para penyanyi perjuangan papua.
Bagik
Kami yang kini terbaring antara Bumi Papua
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Golihat tabuni
menjaga Yusak Pakage
menjaga Viktor yeimo
menjaga buktar tabuni
menjaga benni wenda
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Bumi Papua

oleh jeki pekei

Rabu, 02 Juni 2010

ART5IKEL BAHASA JURNALISTIK

IDENTITAS ARTIKEL
Nama pengarang : Suroso
Judul artikel : bahasa jurnalistik
Tahun : 2009
Tebal : 11 hlm
B. RINGKASAN ISI ARTIKEL
1. PENGERTIAN
Bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra) (Sudaryanto, 1995). Dengan demikian bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991). Bahasa jurnalistik juga merupakan bahasa komu­nikasi massa sebagaimana tampak dalam koran (harian) dan majalah (mingguan). Dengan demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers. Bukan karya-karya opini (artikel dan esai). Oleh karena itu jika ada wartawan yang juga ingin menulis cerpen, esai, kritik, dan opini, maka karya-karya tersebut tidak dapat digolongkan sebagai karya jurnalistik, karena karya-karya itu memiliki varian tersendiri.
2. Pemakaian Bahasa Jurnalistik
Terdapat beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dibandingkan dengan kaidah bahasa Indo­nesia baku:
1. 1. Peyimpangan morfologis. Peyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefik atau awalan dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi Tembak Mati Lima Perampok Nasabah Bank. Israil Tembak Pesawat Mata-mata. Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.
2. 2. Kesalahan sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat. Seharusnya Judul tersebut diubah Hasil Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika. Kasus serupa sering dijumpai baik di koran lokal maupun koran nasional.
3. Kesalahan kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau meminimalisir dampak buruk pemberitaan. Contoh: Penculikan Mahasiswa Oleh Oknum Kopasus itu Merupakan Pil Pahit bagi ABRI. Seharusnya kata Pil Pahit diganti kejahatan. Dalam konfliks Dayak- Madura, jelas bahwa yang bertikai adalah Dayak dan Madura, tetapi wartawan tidak menunjuk kedua etnis ecara eksplisit. Bahkan di era rezim Soeharto banyak sekali kosakata yang diekspose merupakan kosakata yang menekan seperti GPK, suibversif, aktor intelektual, esktrim kiri, ekstrim kanan, golongan frustasi, golongan anti pembangunan, dll. Bahkan di era kebebsan pers seperti sekarang ini, kecen­derungan pemakaian kosakata yang bias makna semakin banyak.
4. Kesalahan ejaan. Kesalahan ini hampir setiap kali dijumpai dalam surat kabar. Koran Tempo yang terbit 2 April 2001yang lalu tidak luput dari berbagai kesalahan ejaan. Kesalahan ejaan juga terjadi dalam penulisan kata, seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron, dll.
5. Kesalahan pemenggalan. Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal penggal saja. Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih menggunakan program komputer berbagasa Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
Oleh karena itu seorang penulis seyogyanya memperhatikan pertautan dengan (a) memperhatikan kata ganti; (b) gagasan yang sejajar dituangkan dalam kalimat sejajar; manakala sudut pandang terhadap isi kalimat tetap sama, maka penempatan fokus dapat dicapai dengan pengubahan urutan kata yang lazim dalam kalimat, pemakaian bentuk aktif atau pasif, atau mengulang fungsi khusus.
Sedangkan variasi dapat diperoleh dengan (1) pemakaian kalimat yang berbeda  menurut struktur gramatikalnya; (2) memakai kalimat yang panjangnya berbeda-beda, dan (3) pemakaian urutan unsur kalimat seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan dengan selang-seling. Jurnalistik “gaya Tempo” menggunakan kalimat-kalimat yang pendek dan pemakaian kata imajinatif. Gaya ini banyak dipakai oleh berbagai jurnalis yang pernah ber­sentuan dengan majalah Tempo.
Dalam hubungannya dengan prinsip penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat beberapa prinsip yang dilakukan (1) balancing, menyangkut lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan, (2) visi tulisan seorang penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data aktual; (3) logika cerita yang mereferensi pada kecocokan; (4) akurasi data; (5) kelengkapan data, setidaknya prisnip 5wh, dan (6) panjang pendeknya tulisan krena keterbatsan halaman.
Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik
beberapa ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik diantaranya:
1. Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele.
2. Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung didalamnya. Menerapkan prinsip 5 wh, membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
3. Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pema­kaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis)
4. Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga .
5. Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati.
6. Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/penegertian makna yang berbeda, menghidnari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu).
Terdapat empat prinsip retorika tekstual yang dikemukkan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dn prinsip ekspresifitas.
1. Prinsip prosesibilitas, menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain.
2. Prinsip kejelasan, yaitu agar teks itu mudah dipahami. Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (ambiguity). Teks yang tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat dipahami.
3. Prinsip ekonomi. Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh akan menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh ruang,wacana jurnalistik di­konstruksi agar tidak melanggar prinsip ini. Untuk mengkonstruksi teks yang singkat, dalam wacana jurnalistik dikenal adanya cara-cara mereduksi konstituen sintakstik yaitu (i) singkatan; (ii) elipsis, dan (iii) pronominalisasi. Singkatan, baik abreviasi maupun akronim, sebagai cara mereduksi konstituen sintaktik banyak dijumpai dalam wacna jurnalistik
. 4. Prinsip ekspresivitas. Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-spek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausali­tas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya.
Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam Pemakaian BI Ragam Jurnalistik
1. Pemakaian kosakata bahasa Asing dan Bahasa Daerah tidak berlebihan.
2. Pemakaian BI ragam baku, berkaitan dengan masalah (a) penulisan Ejaan, singkatan, akronim, tanda baca, (b) tidak menghilangkan imbuhan, kecuali untuk judul berita, (c) menulis dengan kalimat-kalimat pendek.Pengutaraannya teratur dan logis.  Kalimat setidaknya menandung unsur  pokok dan sebutan (subjek, predikat, objek, dan keterangan)
3. Menjauhkan dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipaklai dalam transisi berita seperti kata-kata: sementara itu, dapat ditambahkan, perlu diketahui, dalam rangka, dalam pada itu, dll.
4. Menghilangkan kata-kata mubazir seperti kata adalah (kata kerja kopula)bahwa (kata sambung) dll.
5. Menghidari kata-kata asing yang berbau teknis. Misalnya: mark-up, listing, dst
Kesalahan yang  Sering Dilakukan dalam Menulis BI Ragam Jurnalistik.
Pemakaian singkatan dan akronim yang tidak taat asas dan kurang berdisiplin.
1. Penggunaan Ejaan dan tanda baca yang kurang tepat
2. Penyerapan kata dan istilah asing yang kurang memperhatikan kaidah atau bahasa tulis bahasa Indonesia.
3. Susunan kalimat dan paragraf yang kurang baik.
4. Kurang setia dalam pemakaian dan penulisan kalimat efektif.
C. KOMENTAR
Melihat kepaduan dan perkembangan dunia jurnalistik, maka artikel ini sangat berguna bagi siapa saja, dan terutama yang membidani dunia jurnalistik, karena dalam artikel ini membahas tentang bagimana mengunakan bahasa jurnalistik yang tepat akurat, singkat dan padat agar pembaca mudah mengerti apa persoalan atau permasalahan yang kita sampaikan melalui bahasa tulis. Bahasa tulis merupakan bahasa ilmiah yang teratur dan terarah dibanding dengan bahasa linsan, oleh sebab itu sebelum kita melangka menulis berbagai tulisan yang terpendam dalam benak kita, kita perluh memperkaya kosa kata kita disamping menguasai stips-stips dan langka-langka menghasilkan sebuah artikel yang utuh. Maka disini saya ajak, bahwa siapa saja yang meningkatakan pengetahuan tentang dunia menulis, tengoklah artikel ini karena artikel ini sudah memenuhi sumber pustaka yang relevan.

DIALEG SEBAGAI MASALAH SOSIAL BAGI MAHASISWA PAPUA DI YOGYAKARTA

1. PENDAHULUAN
Bahasa merupakan perang penting bagi kehidupan manusia kiranya tidak perluh diragukan lagi. Bahasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi bahasa juga diperlukan untuk menjalankan segala aktivitas hidup manusia. Seperti penelitian, penyuluhan pemberitaan, proses belajar mengajar, bahkan untuk menyampaikan pikiran, pandangan serta perasaan. Bidang–bidang seperti ilmu pengetahuan, hukum, kedokteran, politik, rupanya juga termasuk memerlukan bahasa. karena hanya dengan bahasa manusia mampu mengkomunikasikan segala hal.
Bahasa mungkin bukan satu-satunya alat komunikasi manusia selain juga di kenal syarat, aneka symbol, kode, bunyi, semua itu akan bermakna setelah diterjemakan kedalam bahasa manusia, oleh karena itu, tidaklah berlebihan bilah bahasa disebut sebagai alat komunikasi terpenting bagi manusia.
Berbicara bahasa sebagai alat komunikasi akan terkait erat dengan sosiolinguistik Dan lebih kusus kedwibahasaan sebagai masalah sosial, yaitu caban ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian bahasa secara eksternal, yakni bagimana satuan kebahasan itu digunakan dalam komunikasi didalam masyarakat, baik bahasa ibu, bahasa nasional maupun bahas internasional. (lihat I Dewa Putu Wijayana, dan Muhamat Rohmadi, 2006:79).
1.1 LATAR BELAKAN
Sebelum berbicara mengenai pokok pembicaran seperti tertuang dalam judul diatas, ada baiknya saya akan bercerita dahulu mengenai pengalaman saya sewaktu pertama kali saya datang ke pulau jawa Yogyakarta tiga Tahun yang lalu tepatnya di pertengahan bulang Agustus 2007. Saya ingat betul ketika itu, saya hanya berkomunikasi dengan bahasa Mee dengan rekan-rekan mahasiswa sesama etnis. Sebagaimana layaknya orang-orang lain , bahasa Indonesia saya tentu saja di warnai dengan logat Papua yang sanggat kental salah satu linguistik yang paling kental adalah (ya, ng, ah th,te) yang saya miliki. Rekan-rekan dari jawa selalu tersenyum atau sering kali tertawa setiap saat saya mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia yang mengandung bunyi (ng) yang , teh, datang, mengandung, dan sebagainya. Lama saya tidak mengerti ada apa dengan saya, pada hal saya amati tidak ada yang aneh dengan diri, cara berpakaian dan sikap saya. Demikian juga saya sedang belajar bahasa jawa. Teman-teman saya sering terpingkal sewaktu saya tidak bisa mengucapkan atau membedakan bunyi (ng, th) serta bunyi “d, dh”. Ketiga pasang bunyi ini dalam sistem bahasa jawa ternyata perbedaan yang sangat penting. Akan “celakalah “orang-orang mahasiswa-mahasiswi papua yang tidak membedakan kata batuk “batuk dan bathuk “dahi”, yan “yang” wedi “takut” dengan wadhi “pasir” dalam bahasa jawa. Teman-teman saya dari jawa sering mengejek saya. Mereka sangat menikmati batasan- batasan performansi linguistik saya:
- - Wong papua ora tahu ngerujak pentil
- Orang papua itu susah ucapkan bunyi fokal G ya!
- Mas kamu cari anak yaa
- Mas kamu punya dahika tidak
Demikianlah nasip saya selama dua tahun tetapi sekarang juga masih ada teman cowo kuliah yang biasa singgung bahwa kamu suda hamiling yaa! Pada hal maksud saya ambil. Tidak tahu bagimana saya membalas dagelan-dagelan orang-orang jawa itu, pada hal rasanya ada unsur-unsur bahasa yang tidak bisah di ungkapkan oleh teman-teman jawa yang sering menghina saya itu. Mereka juga memiliki keterbatasan linguistik bilah di dengar oleh telinga orang papua. Pendatan atau trans dari jawa yang tinggal di papua sering juga sasaran tertawaan orang papua bilah berbahasa papua.

a. Kenyataan
Kalau tidak ada bahasa secara linguitis lebih unggul dari pada bahasa yang lain, maka tidak ada pulah dialek yang lebih unggul dari pada dialek yang lain. Dialek bahasa papua yang sering dikatakan sebagai bahasa papua memiliki ke khususan. kekhususan linguistik yang tidak memiliki bahasa Papua standar. Keungulan itu misalanya dialek dapat menutup kata-katanya dengan bunyi bersuara dan tidak bersuara, misalnya yan, sa, su,dong,kitong,bap dsb. Kata-kata ini bahasa papua standar yang sebenarnya, yang, saya, sudah, mereka, kita,bab dsb. Karena kelemahan ini, mahasiswa saja kurang memahami bahasa standar bahasa Indonesia yang baik . Sering membuat kesalahan yang fatal sewaktu menulis kata yang, sudah, kita, bab, sayap karena pengaruh pengucapan mereka menuliskan su, kitong, bap,yan,sayab. tetapi mahasiswa-mahasiwa penutur bahasa papua tidak sadar melakukan kesalahan dalam hal ini. Tersubordinasinya suatu bahasa oleh bahasa yang lain sebenarnya bukanya karena alasan-alasan yang bersifat linguistik, tetapi karena sebagian besar karena alasan-alasan yang bersifat sosial.
Pemakaian dialek di atas ini juga mempengaruhi pengunaan kaidah bahasa santung atau bahasa yang baik dan benar, mengapa demikian ?
( lihat Pranowo 2009: 51) ada beberapa persoalan pengunaan berbahasa santung antara lain yakni:
a. Tidak semua orang yang memahami kaidah kesantunan.
b. Ada yang memahami tapi tidak mahir menggunakan kaidah kesantunan
c. Ada yang mahir mengunakan kesantunan dalam berbahasa tapi tidak mengentahui bahwa yang digunakan adalah kaidah kesantunan, dan
d. Tidak memahami kaida santunan dan tidak mahir berbahasa secara santun.
Kenyataan yang sering diungkapkan sehari-hari oleh mahasiswa papua seperti unkapanya ko cepat kesini kalo kita merenungkan unkapan ini kurang sesuai dengan bentuk bahasa yang benar, yang sebenarnya kita bisa menyatakan sobat, saudara, kakak, adik , cepat kesini, karena kita gunakan kata ko maka dengan otomatis intonasinya tinggi sehingga orang yang kita tuju itu kemungkinan bisa jauh dari kita atau pura-pura tidak dengar.
Contoh lain lagi saya menemukan melalui hasil penelitian seperti : anjing kamu dari mana, Seperti ungkapan ini sebenarnya kagum karena temannya sudah lama tidak ketemu, kemudian baru sekali ketemu, tetapi orang yang kita dituju bisa membangkitkan emosi, seharusnya sobat kemana saja selama ini, saya benar-benar kangen kamu ini. Dll.
b. Harapan dan kenyataan
- Di Masa mendatang, menghilakangkan pengelompokan-pengelompokan etnis papua di kota studi Jogjakarta, supaya bisa membangkitkan kedwibahasan dengan baik. Fakta yang ditemukan rata-rata mahasiswa papua tidak bergabung dengan masyarakat sekitarnya, sehinga bahasa logatnya masih terbawah kental .
- Dimasa mendatang, menumbuhkan adanya persatuan bahasa indonesia sebagai bahasa nasional. Fakta yang ditemukan melalui beberapa data, adanya pertumbuhan bahasa dialek papua dipandan sebagai bahasa nasional papua.
- Di masa mendatan, mahasiswa papua harus membidani di bagian jurusan bahasa, terutama bahasa Indonesia. Fakta yang menemukan melalui beberapa data bahwa mahasiswa papua sangat kurang membidani di bagian pendidikan bahasa Indonesia.
- Kedepan, mahasiswa papua harus menyadari batasan-batasan bahasa yang harus di gunakan, fakta melalui penelitian ditemukan bahwa Semakin banyaknya berlaku bahasa dialek papua sebagai bahasa nasional, maka dengan tidak langsung akan mempengaruhi hubungan sosial, pendidikan bahkan mengangu bahasa nasional, bahasa indonesia, sehingga makin hilang pengunaan bahasa yang santung dalam hubungan sosial.




1.2 RUMUSAN MASALAH
Bahasa dialek adalah bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan dan dibina. Pelestarian dan pembinaan tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan jika tidak ada upaya untuk mendokumentasikan bahasa tersebut. Struktur bahasa di papua memang pernah diteliti dan didokumentasikan dari lembaga bahasa salah satunya fonologi bahasa ekagi oleh dharmojo, Willy E.Mandouwen dan Supardi namun, namun dialek bahasa papua yang begitu banyak bahasa di papua belum di dokumentasikan, oleh karena itu hingga saat ini belum dapat diketahui struktur dialek bahasa papua yang umumnya. Mahasiswa masih belum sadar dengan bahasa dialek yang digunakannya. Berdasarkan uraian tersebut, masalah dalam penelitian ini dapat di rumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
Umum
Mengapa Bahasa Indonesia tidak di junjung tinggi sebagai bahasa nasional, sedangkan bahasa daerah dan dialek-dialek papua diperhatikan ?,
Khusus
a. Bagimana memperhatikan batasan-batasan Pemertahanan bahasa dialek papua di jogjakarta?
b. Bagimana membangkitkan bahasa dialek sebagai pengajaran di papua?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuannya utama penelitian ini adalah untuk memenuhi tugas akhir matakuliah Sosiolinguistik, memperdalami, memperluas dan penegetahuan cecara praktik langsung agar bisa memahami bahasa sosial yang sedang berkembang di klayak masyarakat Yogyakarta secara langsung.
Tujuang memilih dengan judul pemertahanan dialek, sebagai masalah sosial, bagi mahasiswa papua diyogyakarata, karena melihatnya klayak mahasiswa papua dengan warga masyarakat Yogyakarta, saling tidak mengerti satu sama lain, dengan persepsi yang berbeda-beda yakni:
- mahasiswa papua belum menyadari bahwa batasan-batasan bahasa yang harus digunakan dengan warga sekitarnya sehinga muncullah persoalan sosial antara warga dengan mahasiswa papua.
- Warga masyarakat Yogyakarta belum menyadari bahwa intonasi yang digunakan oleh mahasiswa papua itu terpengaruh dari logatnya, sehingga timbullah persepsi yang salah bahwa intonasi tinggi yang digunakan mahasiswa papua, itu menandai bahwa marah atau cepat emosi sehingga terjadilah masalah sosial dalam kehidupan.
Dengan makalah ini saya mencoba untuk meluruskan bahkan memberikan penyerangan agar tidak saling menimbulkan masalah-masalah di tengah kehidupan masyarakat dan mahasiswa Yogyakarta.
- Memberikan pemahaman bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa dialek sebagai bahasa ibu agar memahami kontek atas batasan-batasan linguistik.
2. KAJIAN PUSTAKA
1. Bahasa Indonesia dan dialek papua
Dengan adanya situasi persatuan dalam kebinekaan, kebijakan bahasa nasional mengariskan bahwa bahasa Indonesia berfunsi sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi. Sebagai bahasa nasional bahasa resmi adalah lambang semangat kebangsaan, alat penyatuan berbagai masyarakat yang berbeda beda latar belakang kebahasan, kebudayaan dan kesukuanya kedalam satu masyarakat kebahasaan satu masyarakat nasional Indonesia, alat berhubungan antar suku, antar daerah dan antar budaya, sementara itu dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi bahasa Indonesia adalah bahasa resmi pemerintahan, bahasa pengantar di dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional, serta alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi (Halim, 1980,17, Periksa pulah wijayana, 2003;235). Sementara bahasa-bahasa daerah harus tetap dipelihara karena merupakan bagian dari kebudayaan nasional yang hendak dipersatukan, seperti terlihat jelas dalam bunyi kebijakan pengembangan bahasa daerah berikut ini,
“ bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya dihargai dan dipelihara oleh Negara oleh karena bahasa-bahasa itu adalah bagian dari kebudayaan yang hidup”
Beranalogi dengan kebijakan ini, maka bahasa daerah tentu merupakan lambang semangat kedaerahan. Sementara itu, dialek-dialeknya merupakan alat penghubung yang harus dipelihara keberadaanya sebagai pendukung dan pemerkaya bahasa papua standar. Pembinaan bahasa daerah mendapat porsi yang sangat kecil sehingga banyak bahasa-bahasa daerah terancam keberadaanya. (Dewa Putu Wijana 2006:88) Bila bahasa daerah kurang diperatikan, dapat dipastikan dialek-dialeknya juga mengalami nasib yang lebih memperhatingkan. Dalam upaya pembinaan bahasa daerah papua khususnya perluh selalu ditekankan pemeliharaan terhadapdialek-dialek pendukungnya dengan tetap memperhatikan kedudukanya nuntuk tidak melewati fungsi-fungsi yang dimiliki oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

2. Pemertahanan bahasa Dialek Papua
Memang berbagai alasan timbul di klayak kita bahwa mengapa suatu bahasa daerah suku itu sendiri punah atau tidak digunakan lagi yang di gunakan pun tidak menyadari bahasa dialek yang sebenarnya oleh penutur-penuturnya, tetapi penutur asal papua mengunakan bahas dialeh sepapua, gunakan bahasa Satu di antaranya adalah adanya dominasi bahasa atau dialek yang lebih besar baik secara demografis, ekonomis, sosial, atau politis, seperti apa yang dialami oleh dialek papua dari tekanan bahasanya.
Untuk pemertahanan dialek setiap suku masin- masin itu harus perluh sadari mahasiswa papua, kebijakan pembinaan bahasa papua, haruslah memberi peluang yang seluas-luasnya bagi penutur-penutur­nya untuk menggunakan dialek papua sehingga dialek ini bisa menjadi alat komunikasi yang utama dalam ranah keluarga dan masyarakat dalam mengembangkan budaya lo­kalnya (periksa Mey, 1994, 12).
Pemeliharaan sebuah bahasa tidak cukup hanya dengan usaha mendeskripsikan sistem ke­bahasaan dan wilayah pemakaiannya, seperti yang telah dila­kukan oleh para ahli bahasa selama ini. Namun, yang tidak kalah penting dari itu semua adalah penumbuhan rasa bangga dalam diri penutur-penutur dialek papua untuk meng­gunakan bahasanya. Dengan dua usaha di atas, alangka baiknya dialek papua akan tetap bertahan dan memberikan sumbangan kepada orang trans dari luar papua , tetapi disini saya tekankan bahwa untuk dialeknya harus disadari keberadaanya. Bahasa standar yang sedang dituturi diklayak mahasiswa yang mana bisah memahami diantara adanya bahasa daerah yang begitu banyak 240 bahasa , maka bahasa standar ini harus dipertahankan.
3. Pengajaran Dialek Papua


Yang mana selalu sangat terlihat dialek papua Karena memang orang tua untuk mengajarkan dialek papua dan khususnya dialek setiap suku masing-masing kepada anak-anak mereka sehingga timbul kekhawatiran akan punahnya varian bahasa ini bersama-sama dengan budaya yang diwa­rnai dalam beberapa waktu mendatang. Para orang tua, terutama yang ada di perkotaan lebih senang langsung meng­ajarkan bahasa Indonesia, bahasa yang digunakan sebagai medium instruksional di sekolah-sekolah. Banyak di antara mereka berpandangan bahwa pengajaran dialek di setiap sekolah dipakai sebagai mata pelajaran muatan lokal, tetapi sayangnya justru akan menganggu usaha anak dalam menguasai ba­hasa Indonesia. Sebagai akibatnya generasi muda tidak lagi mahir menggunakan bahasa Indonesia yang mana sekarang sangat terlihat di klayak mahasiswa Yogyakarta, ( lihat hendri Guntur 1988: 40) , memang tepat apa bilah kita katakana bahwa kedwibahasan merupakan suatu masalah sosial karena bahasa pada hakikatnya merupakan bagian dari identitas dan jati diri seseorang. Rasa tidak percaya diperlihatkan oleh banyak orang dan pemerintah terhadap para pribadi dan itu merupakan warga Negara yang tidak setia.

3. METODOLOGI
3.1 METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode ini memiliki sifata dan karakteristik yang diangap sangat cocok digunakan untuk penelitian struktur bahasa. (sudaryanto (1986: 62) menegaskan bahwa metode ini menerangkan suatu penelitian yang dilakukan atas dasar fakta yang ada, yang hidup pada penutur-penuturnya, sehingga perian yang diberikan berupa perian bahasa yang dikatakan sifatnya seperti potret sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
3.2 PENGUMPULAN DATA
Sebagai penjelasan lebih lanjut diatas, peneliti menggunakan teknik wawancara, teknik menuliskan sebuah wacana singkat tentang pengalaman lucu. Dalam kegiatan wawancara itu peneliti menuliskan dialek-dialeknya, menulis kesantunan bahasa yang diucapkan oleh penutur dan peneliti menuliskan pengaru-pengaruh sosial bahasa dialek papua dengan orang jawa. Sedangkan kegiatan menuliskan sebuah wacana singkat tentang pengalaman lucu , peneliti menandai pengaru dialek terdap bahasa tulis. Seandainya kata-kata yang tidak sesuai dengan kata-kata yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi objek, kata-kata itu tetap dapat disesuaikan. Selain itu peneliti juga mengumpulkan data dengan jalan obserfasi dan partisifasi jalan mengumpulkan tangapan-tangapan terhadap pengunaan bahasa dialek terhadap warga jogjakarta dan mahasiswa papua di tempat asrama-asrama papua.
3.3 SUMBER DATA
Sumber data dalam penelitian ini adalah semua ciri dan karakteristik pengunaan dialek yang dipakai sebagai dialek umum disamping ratusan dialek-dialek yang ada di papua yang di gunakan oleh penutur asli papua yang berjumlah kira- kira 60 orang, Yang sedang menekuni ilmu di yogyakarta. Data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu lebih khusus dialek dan berbahasa santun. Yang diperoleh dari beberapa informan. Informan-imforman itu ditentukan berdasarkan syarat-syarat imforman berikut:
1. seluruh mahasiswa papua dari sorong sampai merauke tampa mengukur usia dan pendidikan
2. memiliki alat ucap yang utuh
3. dapat berbahasa indonesi4. harus penutur bahasa asli dialeh papua yang sedang berlaku secara umum
5. memiliki alat pendengar yang tidak terganggu sehingga dapat mempermudah peneliti dalam berkomunikasinya.
7. belum banyak pengaruh dari bahasa lain dari luar papua sehingga data yang diperoleh benar-benar asli.
8. wawancara dengan mahasiswa jawa tentang tangapan dialek papua.
Mengenai jumlah imformasi, smarin (1967: 54) memberikan petunjuk bahwa untuk menggambarkan struktur bahasa secara umum, tidak dibutukan lebih dari satu imformasi yang baik. Ini berarti bahwa informan tersebut harus memenuhi semua syarat diatas atau mendekati peryaratan itu.
3.2 DATA PENELITIAN
Sumber data penelitian ini adalah semua ciri dan karakteristi bahasa dialek yang digunakan oleh penutur asli papua yang sedang membidani di kota studi Yogyakarta yang berjumlah kira –kira 30 orang , yang sukunya berbeda –beda yang berdomisili di jogyakarta. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dialek papua dan dan gejala pengaruh sosial masyarakat sekitarnya. Imformasi itu ditentukan berdasarkan syarat syarat informen;
1. Usia minimal 18 tahun dan maksimal 40 tahun dari penguna bahasa dialek papua
2. Warga Jogjakarta usia sekitar minimal 15 tahun dan maksimal 60 tahun
3. Dapat berbahasa Indonesia
4. Harus penutur asli papua dan harus penutur bahasa jawa
5. Memiliki alat kedengaran yang tidak tergangu
Mengenai jumlah informan , samarin 1967: 54) memberikan petunjuk bahwa untuk mengambarkan struktur bahasa secara umum tidak butukan lebih dari satu imformasi yang lebih baik, ini berarti bahwa jumlah imformen harus memenuhi semua syarat diatas.
3. 5 TEKNIK ANALISIS DATA
Data yang dapat observasi itu di inventarisasikan , kemudian mengelompokan gaya bahasa, diksi, intonasi, konsonan , kesantunan bahasa kemudian mengidentifikasikan bahwa diksi dan intonasinya kemudian tuturan yang objeknya didahului, kemudian supjeknya tidak digunakan, dan peredikatnya tidak diikutkan subjek kemudian saya deskripsikan data apa adanya yang saya dapat melalui wawancara, observasi dan kuisioner yang menuliskan teks cerita lucu. lebih jelas saya mengunakan langka-langkah dibawah ini :
1. cacat bunyi-bunyi yang susah diungkapkan setiap suku mewakili 5 orang
2. catat bunyi-bunyi yang selebihnya dari 6 suku
3. catat kemasukan kata-kata dialek pada saat berbicara dari setiap suku
4. catat kemasukan kata-kata dialek dalam bahasa tulis dari setiap suku
5. mengelompokan kalimat yang santun dalam bahasa tulis dari setip suku
6. mengelompokkan kalimat yang tidak santung dalan bahsa tulis dari setiap suku
Setelah lankah-langkah diatas ini dikelompokan, melihat dialek yang sama antara satu suku dengan suku yang lain kemudian dipadukan menjadi dialek umum. Hasil paduan itulah yang saya melaporkan berupa makalah hasil penelitian.
3. KESIMPULAN
Sosiolinguistikadalah caban ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian bahasa secara eksternal, yakni bagimana satuan kebahasan itu digunakan dalam komunikasi didalam masyarakat, baik bahasa ibu, bahasa nasional maupun bahasa internasional.
dengan permasalahan sosial yang terjadi di Jogjakarta diantara mahasiwa papua demgan warga Yogyakarta ini, sala persepsi, sehingga kita sebagai manusia berbudi luhur kita memahami satu sama lain untuk menumbuhkan sikap keadilan, dan sikap saling melengkapi. Dengan ini bukan untuk kita melepaskan bahasa dialek kita namun kita restarikan bahasa dialeknya sebagai bahas ibu dan bahasa nasional, internasional kita dipandang sebagai alat penghubung antara kita dengan warga sekitar kita.
DAFTAR PUSTAKA
- Dewi Putu Wijana, Muhamat Rohadi. 2006. Sosiolinguistik Kajian Teori dan Analisis .Yokyakarta . Pustaka Pelajar.
- Pranowo. 2009. Berbahasa Secara Santung. Yogjakarta : Pustaka Pelajar.
- Sudaryanto, 1986. Metode Linguistik. Yogyakarta : Gaja Mada University Press.
- Samsuri 1986. Bahasa Indonesia Sebagai Wahana Kebudayaan Indonesia ‘Dalam Dewa Putu Wijaya .
- Mey, Jakob L 1994,. Pragumatik : An Introdution , Oxford: Basil Blackwell.
- Taringan Hendri Guntur. 1988. Pengajaran Kedwibahasaan . Bandung : Angkasa

ARTIKEL BAHASA JURNALISTIK

A. IDENTITAS ARTIKEL
Nama pengarang : Suroso
Judul artikel : bahasa jurnalistik
Tahun : 2009
Tebal : 11 hlm
B. RINGKASAN ISI ARTIKEL
1. PENGERTIAN
Bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra) (Sudaryanto, 1995). Dengan demikian bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991). Bahasa jurnalistik juga merupakan bahasa komu­nikasi massa sebagaimana tampak dalam koran (harian) dan majalah (mingguan). Dengan demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers. Bukan karya-karya opini (artikel dan esai). Oleh karena itu jika ada wartawan yang juga ingin menulis cerpen, esai, kritik, dan opini, maka karya-karya tersebut tidak dapat digolongkan sebagai karya jurnalistik, karena karya-karya itu memiliki varian tersendiri.
2. Pemakaian Bahasa Jurnalistik
Terdapat beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dibandingkan dengan kaidah bahasa Indo­nesia baku:
1. 1. Peyimpangan morfologis. Peyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefik atau awalan dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi Tembak Mati Lima Perampok Nasabah Bank. Israil Tembak Pesawat Mata-mata. Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.
2. 2. Kesalahan sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat. Seharusnya Judul tersebut diubah Hasil Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika. Kasus serupa sering dijumpai baik di koran lokal maupun koran nasional.
3. Kesalahan kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau meminimalisir dampak buruk pemberitaan. Contoh: Penculikan Mahasiswa Oleh Oknum Kopasus itu Merupakan Pil Pahit bagi ABRI. Seharusnya kata Pil Pahit diganti kejahatan. Dalam konfliks Dayak- Madura, jelas bahwa yang bertikai adalah Dayak dan Madura, tetapi wartawan tidak menunjuk kedua etnis ecara eksplisit. Bahkan di era rezim Soeharto banyak sekali kosakata yang diekspose merupakan kosakata yang menekan seperti GPK, suibversif, aktor intelektual, esktrim kiri, ekstrim kanan, golongan frustasi, golongan anti pembangunan, dll. Bahkan di era kebebsan pers seperti sekarang ini, kecen­derungan pemakaian kosakata yang bias makna semakin banyak.
4. Kesalahan ejaan. Kesalahan ini hampir setiap kali dijumpai dalam surat kabar. Koran Tempo yang terbit 2 April 2001yang lalu tidak luput dari berbagai kesalahan ejaan. Kesalahan ejaan juga terjadi dalam penulisan kata, seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron, dll.
5. Kesalahan pemenggalan. Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal penggal saja. Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih menggunakan program komputer berbagasa Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
Oleh karena itu seorang penulis seyogyanya memperhatikan pertautan dengan (a) memperhatikan kata ganti; (b) gagasan yang sejajar dituangkan dalam kalimat sejajar; manakala sudut pandang terhadap isi kalimat tetap sama, maka penempatan fokus dapat dicapai dengan pengubahan urutan kata yang lazim dalam kalimat, pemakaian bentuk aktif atau pasif, atau mengulang fungsi khusus.
Sedangkan variasi dapat diperoleh dengan (1) pemakaian kalimat yang berbeda  menurut struktur gramatikalnya; (2) memakai kalimat yang panjangnya berbeda-beda, dan (3) pemakaian urutan unsur kalimat seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan dengan selang-seling. Jurnalistik “gaya Tempo” menggunakan kalimat-kalimat yang pendek dan pemakaian kata imajinatif. Gaya ini banyak dipakai oleh berbagai jurnalis yang pernah ber­sentuan dengan majalah Tempo.
Dalam hubungannya dengan prinsip penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat beberapa prinsip yang dilakukan (1) balancing, menyangkut lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan, (2) visi tulisan seorang penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data aktual; (3) logika cerita yang mereferensi pada kecocokan; (4) akurasi data; (5) kelengkapan data, setidaknya prisnip 5wh, dan (6) panjang pendeknya tulisan krena keterbatsan halaman.
Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik
beberapa ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik diantaranya:
1. Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele.
2. Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung didalamnya. Menerapkan prinsip 5 wh, membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
3. Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pema­kaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis)
4. Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga .
5. Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati.
6. Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/penegertian makna yang berbeda, menghidnari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu).
Terdapat empat prinsip retorika tekstual yang dikemukkan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dn prinsip ekspresifitas.
1. Prinsip prosesibilitas, menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain.
2. Prinsip kejelasan, yaitu agar teks itu mudah dipahami. Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (ambiguity). Teks yang tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat dipahami.
3. Prinsip ekonomi. Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh akan menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh ruang,wacana jurnalistik di­konstruksi agar tidak melanggar prinsip ini. Untuk mengkonstruksi teks yang singkat, dalam wacana jurnalistik dikenal adanya cara-cara mereduksi konstituen sintakstik yaitu (i) singkatan; (ii) elipsis, dan (iii) pronominalisasi. Singkatan, baik abreviasi maupun akronim, sebagai cara mereduksi konstituen sintaktik banyak dijumpai dalam wacna jurnalistik
. 4. Prinsip ekspresivitas. Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-spek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausali­tas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya.
Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam Pemakaian BI Ragam Jurnalistik
1. Pemakaian kosakata bahasa Asing dan Bahasa Daerah tidak berlebihan.
2. Pemakaian BI ragam baku, berkaitan dengan masalah (a) penulisan Ejaan, singkatan, akronim, tanda baca, (b) tidak menghilangkan imbuhan, kecuali untuk judul berita, (c) menulis dengan kalimat-kalimat pendek.Pengutaraannya teratur dan logis.  Kalimat setidaknya menandung unsur  pokok dan sebutan (subjek, predikat, objek, dan keterangan)
3. Menjauhkan dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipaklai dalam transisi berita seperti kata-kata: sementara itu, dapat ditambahkan, perlu diketahui, dalam rangka, dalam pada itu, dll.
4. Menghilangkan kata-kata mubazir seperti kata adalah (kata kerja kopula)bahwa (kata sambung) dll.
5. Menghidari kata-kata asing yang berbau teknis. Misalnya: mark-up, listing, dst
Kesalahan yang  Sering Dilakukan dalam Menulis BI Ragam Jurnalistik.
Pemakaian singkatan dan akronim yang tidak taat asas dan kurang berdisiplin.
1. Penggunaan Ejaan dan tanda baca yang kurang tepat
2. Penyerapan kata dan istilah asing yang kurang memperhatikan kaidah atau bahasa tulis bahasa Indonesia.
3. Susunan kalimat dan paragraf yang kurang baik.
4. Kurang setia dalam pemakaian dan penulisan kalimat efektif.
C. KOMENTAR
Melihat kepaduan dan perkembangan dunia jurnalistik, maka artikel ini sangat berguna bagi siapa saja, dan terutama yang membidani dunia jurnalistik, karena dalam artikel ini membahas tentang bagimana mengunakan bahasa jurnalistik yang tepat akurat, singkat dan padat agar pembaca mudah mengerti apa persoalan atau permasalahan yang kita sampaikan melalui bahasa tulis. Bahasa tulis merupakan bahasa ilmiah yang teratur dan terarah dibanding dengan bahasa linsan, oleh sebab itu sebelum kita melangka menulis berbagai tulisan yang terpendam dalam benak kita, kita perluh memperkaya kosa kata kita disamping menguasai stips-stips dan langka-langka menghasilkan sebuah artikel yang utuh. Maka disini saya ajak, bahwa siapa saja yang meningkatakan pengetahuan tentang dunia menulis, tengoklah artikel ini karena artikel ini sudah memenuhi sumber pustaka yang relevan.

ARTIKEL TEORI BELAJAR BAHASA

A. IDENTITAS ARTIKEL
Judul : Teori-Teori Belajar Bahasa
Pengarang : Akhmad Sudrajat
Tahun : 2008
Sumber : http://akhmadsudrajat.wordpress.com
Tebal : 9 hlm
B. RINGKASAN ARTIKEL
Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi. Dalam tautan di bawah ini akan dikemukakan empat jenis teori belajar, yaitu: (A) teori behaviorisme; (B) teori belajar kognitif menurut Piaget; (C) teori pemrosesan informasi dari Gagne, dan (D) teori belajar gestalt.
A. Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
· Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
· Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
· Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
· Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
· Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
· Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
B. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
C. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.
D. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
1. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
C. KOMENTAR
Teori Behaviorisme mengatakan bahwa peniruan sangat penting dalam mempelajari bahasa. Teori ini juga mengatakan bahwa mempelajari bahasa berhubungan dengan pembentukan hubungan antara kegiatan stimulus-respon dengan proses penguatannya. Proses penguatan ini diperkuat oleh suatu situasi yang dikondisikan, yang dilakukan secara berulang-ulang. Sementara itu, karena rangsangan dari dalam dan luar mempengaruhi proses pembelajaran, anak-anak akan merespon dengan mengatakan sesuatu. Ketika responnya benar, maka anak tersebut akan mendapat penguatan dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Saat proses ini terjadi berulang-ulang, lama kelamaan anak akan menguasai percakapan.
Kata kunci : “Behaviorisme, Operant Conditioning, Kegiatan Stimulus-Respons, Reinforcement Process The behaviouristic says that imitation is very important in language learning. It also says that learning a language concerns the formation of stimulus-respond relationship combined with the reinforcement process. The process is strengthened by a conditioning situation which is done through repeatation. Meanwhile, since internal and external stimulis influence the learning process, the influence makes the children respond the stimulis by saying something. When the saying is right, the children will get a strengthening action from the adults surrounding.When this process occours repertively, the children soon master the saying.”

PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA

PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA
Kemampuan dalam memperoleh bahasa pertama merupakan pusat perhatian selama berabad-abad. Selama penelitian dimulai dengan ahli filsafah Jerman, Dietrich Tiedem sejak akhir abad ke-18 mencatat perkembangan linguistik dan dan psikologis dari anaknya sendiri. Pada dasarnya, semua anak, bila ditempatkan dalam lingkungan perkembangan yang normal, akan memperoleh bahasa ibunya dengan lancar dan efisien. Mereka memperoleh bahasa ibunya dengan alamiah, tanpa adanya bimbingan khusus, namun dibarengi oleh usaha sadar dalam pemerolehan bahasa tersebut. Oleh sebab itu, dala artikel ini menjelaskan gambaran tentang isu-isu pokok dalam pembelajaran bahasa pertama sebagai dasar bagi kita untuk tiba pada pengertian mengenai isu-isu dalam pemerolehan bahasa ke dua. Adanya pernyataan logis tentang pemerolehan bahasa pertama dalam membentuk pemerolehan bahasa ke dua.

Teori Pemerolehan Bahasa Pertama
Pada tahap awal sebagai seorang bayi dimulai dengan meraba, berceloteh atau menangis dan dapat menerima serta menyampaikan sejumlah pesan baik secara vokal maupun non vokal. Pada usia 18 bulan, kata-kata tadi mulai berlipat ganda jumlahnya bentuk kombimasi dua atau tiga kata yang dapat diartikan sebagai kalimat telegram. Menjelang usia satu tahun, ,mulai menirukan bunyi-bunyi sekitarnya dan ia pun sanggup mengucapkan kata-kata pertamanya.
Pada usia tiga tahun, anak tersebut sudah mulai dapat mengerti kebiasaan-kebiasaan kebahasaan (linguistik behaviour), kemampuan ujaran mereka makin bertambah cepat dan tak henti-hentinya berceloteh. Pada usia sekolah, anak-anak pada umumnya mempelajari bukan saja apa yang harus mereka ucapkan tetapi juga hal-hal yang tak boleh mereka ucapkan karena mereka masih mempelajari fungsi-fungsi sosial bahasa.

Pendekatan Behaviorisme
Menurut pandangan behaviorisme, bahasa adalah bagian yang fundamental dari keseluruhan tingkah laku manusia. Pendekatan yang beraliran behaviorisme ini dipusatkan pada aspek-aspek tingkah laku atau kebiasaan bahasa dapat diamati secara langsung yang artinya, pengamatan mereka diarahkan kepada respon-respon yang dapat diamati secara umum, serta keterhubungan atau assosiasi antara respon-respon dengan peristiwa-peristiwa dunia sekitar. Penganut behaviorisme beranggapan bahwa tingkah laku bahasa yang efektif sebenarnya merupakan hasil daripada respon yang tepat terhadap stimuli.

Pendekatan Nativisme
Pendekatan nativisme menjelaskan bahwa nativisme merupakan bersumber suatu keyakinan mendasar bahwa pemerolehan bahasa ditentukan bawaan dilengkapi dengan suatu alat untuk mempersepsikan bahasa sekitar kita yaitu LAD (Language Aquatition Device). Lalu dalam artikel ini menjelaskan bahwa LAD terdiri linguistik bawaan yaitu:
1. Kemampuan membedakan bunyi ujaran dari bunyi yang lain terdapat terdapat sekitarnya.
2. Kemampuan mengklasifikasikan peristiwa linguistik ke dalam kelompok-kelompok tertentu untuk dapat diucapkan dengan lancar.
3. Kemampuan untuk membedakan sistem bahasa tertentu dari sistem lainnya.
4. Kemampuan untuk mengerti sistem linguistik agar dapat membuat sistem-sistem yang lebih sederhana berdasarkan data-data linguistik yang telah dikuasai sebelumnya.

Pendekatan Fungsional
Pendekatan ini sama halnya dengan pendekata nativisme. Pendekatan ini menjelaskan penelitian Bloom kepada tentang bahasa anak yang terpusat pada kognitif prilaku linguistik. Dia sependapat dengan Piaget dan Slobin, piaget menjelaskan perkembangan persepsi kemampuan kognisi dengan pengalaman linguistik.