Senin, 29 Maret 2010

SEMAKIN MAHAL BIAIYA PENDIDIKAN, KUALITAS MAKIN TURUN

Antara Biaya Kuliah yang Makin Mahal dan Kualitas Pendidikan Perguruan Tinggi Malah Berbanding Terbalik. Semakin Mahal Biaiya, Kualitas Out Put Makin Turun.
Setiap tahun ajaran buru, selalu saja ada kenaikan biaiya pendidikan, biaya yang pasti mengalami kenaikan di perguruan tinggi (PT), uang satuan kredit studi (SKS) sebesar sepulu persen (10%) dan dana pengembangan pembangunan (DPP ) Uang kuliah tetap (UKT) sebagai dana bersama. Yang ruting naik adalah SKS. Sedangkan untuk DPP, kenaikannya kapan dan seberapa besar, tidak diatur secara tertulis . karena meliahatnya peningkatan biaiya operasional pendidikan semakin mahal maka dari itu, seluruh (PT) rutin naik setiap tahunya. Namun, ternyata uang SKS tidak sangup menanggung biaya tersenut. biaya pendidikan yang makin mahal menjadi dilema bagi Indonesia yang sedang mengalami transformasi menuju negara maju.
Dalam proses transformasi membutuhkan generasi muda yang memiliki pendidikan baik,. Jika biaya pendidikan mahal maka hanya orang-orang mampu secara finansial yang bisa menikmati pendidikan. Banyak masyarakat Indonesia yang cerdas tapi tidak bisa menikmati pendidikan tinggi karena tidak memiliki kemampuan finansial. Jika hal ini terus berlangsung, pada sekitar 30 tahun mendatang, masyarakat kelas menengah di Indonesia, hanya berasal dari masyarakat kelas menengah saat ini. Sedangkan potensi dari keluarga sederhana tidak bisa tumbuh. Kalau biaiya pendidikan tinggi, relatif tidak bisa diakses masyarakat dari keluarga sederhana.
Semakin mahalnya biayaia pendidikan tidak mungkin luput dari kritik mahasiswa, bertolak dari itu pers-pers mahasiswa sudah mulai mengkritik kenaikan biaiya pendidikan salah satunya, pers USD mengankat dengan tema “ Mempertanyakan Fasilitas, Kualitas, dan Kemanusiaan USD Saat Kuliah Makin Mahal”.
Pada minggu-minggu terakhir ini ramai dibicarakan mengenai makin mahalnya biaya pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Meski nanti lulus SPMB, calon mahasiswa baru harus menghadapi persoalan berikutnya: kewajiban membayar biaya pendidikan yang sangat mahal. Menurut Antara News (04/07/07), di Universitas Indonesia, uang pangkalnya saja besarnya mencapai Rp 25 juta untuk fakultas-fakultas eksakta.
Di PTN lain yang saat ini berstatus BHMN seperti IPB, ITB, Unpad, UGM, Unair, dan sebagainya juga menetapkan tarif uang pangkal yang tidak berbeda jauh dengan UI. Selain uang pangkal mereka juga diharuskan membayar berbagai komponen dana yang beragam di tiap jurusan dan fakultas. Semakin tinggi peminatnya, suatu jurusan atau fakultas akan menetapkan tarif yang tinggi pula. Beberapa jurusan atau fakultas di BHMN tersebut ada yang harus membayar total Rp 45 hingga Rp 120 juta.
Akibat: kalau makin mahalnya biaya pendidikan di Perguruan Tinggi (PT), kejadian seperti pada tahun sebelumnya kemungkinan berulang, yaitu adanya beberapa peserta yang dinyatakan lulus SPMB, namun kemudian mengundurkan diri karena tidak mampu menanggung biaya pendidikannya.
Ujian Nasional sudah mulai digelar tanggal 22 Maret hingga samapai 25 2010. tentu, tidak ada orang tua yang tidak ingin putra-putrinya bisa meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Karena itu, mereka yang lulus kemudian ramai-ramai mencari sekolah yang lebih tinggi, atau mencari perguruan tinggi (bagi yang lulus sekolah lanjutan tingkat atas/SLTA).
Namun, bagi keluarga miskin atau keluarga kurang mampu, tahun ajaran baru rasanya menjadi tahun-tahun yang berat karena biaya pendidikan makin hari makin mahal. Orang-orang yang melakukan bisnis di bidang pendidikan (ketua yayasan atau pimpinan lembaga pendidikan), terutama bagi sekolah-sekolah swasta, tampaknya tak mau tahu, sungguh-sungguh tidak mau tahu, terhadap masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan. Pokoknya uang pangkal, uang gedung, uang buku, uang praktikum, dan entah uang apa lagi, harus dibayar sebelum anak masuk sekolah (atau sebelum tahun ajaran dimulai).
Mau bersekolah di sekolah negeri, nilai ujian siswa sering (banyak) tidak memenuhi persyaratan. Nilainya harus benar-benar di atas 7. Karena itu, sekolah di negeri juga tidak mudah, apalagi (konon) masuk di sekolah negeri pun (yang nilainya kurang dari persyaratan) harus mengeluarkan uang tidak sedikit.
Sekolah swasta atau lembaga-lembaga pendidikan swasta yang mutunya rendah pun ikut-ikutan menarik biaya yang tinggi. Padahal, setelah tamat sekolah, mencari pekerjaan pun sulit. Jangankan hanya tamat SLTA, sarjana pun banyak yang menganggur. kalau anak tidak sekolah, lantas mau bagaimana? Sampai kapan, keadaan seperti ini?"
Satu-satunya cara
Kalau memang Negara Indonesia punya cita-cita dan dasar bineka tungal ika, bagiama berfikir membangkitkan sumberdaya manusia. Yang perluh melihat:
Pertama: Alumni perguruan tinggi yang telah berhasil agar memberikan bantuan kepada almamaternya dalam bentuk beasiswa melalui organisasi ikatan alumni.“Alumni perguruan tinggi saat ini tidak menyadari jika mereka sudah diuntungkan dengan menikmati pendidikan tinggi yang biayanya masih murah. Melalui pendidikan tinggi, terjadi percepatan bagi seseorang dari keluarga sederhana masuk ke lapisan masyarakat kelas menengah.Jika mereka tidak memberikan bantuan dalam bentuk beasiswa, maka generasi adik-adiknya atau anak-anaknya dari keluarga sederhana tidak bisa lagi menikmati pendidikan tinggi, karena biayanya sudah mahal.
Kedua, perguruan tinggi harus bisa mengelola pendanaan dengan cara yang lebih modern, yakni dengan melihat sektor swasta untuk berkontribusi membantu biaya pendidikan tinggi. “Bentuknya berupa beasiswa atau penggalangan dana abadi,” masyarakat saat ini tidak bisa berharap seluruh biaya pendidikan sampai ke perguruan tinggi ditanggung oleh pemerintah.
Pada saat seluruh masyarakat Indonesia masih miskin, beban tersebut masih ditanggung pemerintah. Tapi setelah sebagian masyarakat status sosial ekonominya sudah lebih baik, mereka harus memberikan kontribusi agar pendidikan tinggi juga tetap bisa diakses oleh masyarakat dari keluarga sederhana. “Pemerintah saat ini sudah membantu biaya pendidikan dasar dan menengah, karena itu swasta harus berkontribusi membantu biaya pendidikan tinggi.
Karut-marut ini tidak dapat didiamkan atau bahkan dibenarkan oleh kita yang masih percaya pada UUD 1945 sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Tak ada cara lain kecuali melakukan perombakan mendasar pada kebijakan, pelaksanaan, dan pengelolaan lembaga pendidikan. Perombakan mendasar harus dimulai dari manajemen pemerhati pendidikan pimpinan negara kita tercinta. Tidak ada cara lain membuat peraturan sendiri dari pengelola kampus itu sendiri. Harus memperbaiki seluruh kebijakan pengawasan dan pengendalian dari lembaga pendidikan pusat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apakah anda terinspirasi?