Rabu, 02 Juni 2010

DIALEG SEBAGAI MASALAH SOSIAL BAGI MAHASISWA PAPUA DI YOGYAKARTA

1. PENDAHULUAN
Bahasa merupakan perang penting bagi kehidupan manusia kiranya tidak perluh diragukan lagi. Bahasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi bahasa juga diperlukan untuk menjalankan segala aktivitas hidup manusia. Seperti penelitian, penyuluhan pemberitaan, proses belajar mengajar, bahkan untuk menyampaikan pikiran, pandangan serta perasaan. Bidang–bidang seperti ilmu pengetahuan, hukum, kedokteran, politik, rupanya juga termasuk memerlukan bahasa. karena hanya dengan bahasa manusia mampu mengkomunikasikan segala hal.
Bahasa mungkin bukan satu-satunya alat komunikasi manusia selain juga di kenal syarat, aneka symbol, kode, bunyi, semua itu akan bermakna setelah diterjemakan kedalam bahasa manusia, oleh karena itu, tidaklah berlebihan bilah bahasa disebut sebagai alat komunikasi terpenting bagi manusia.
Berbicara bahasa sebagai alat komunikasi akan terkait erat dengan sosiolinguistik Dan lebih kusus kedwibahasaan sebagai masalah sosial, yaitu caban ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian bahasa secara eksternal, yakni bagimana satuan kebahasan itu digunakan dalam komunikasi didalam masyarakat, baik bahasa ibu, bahasa nasional maupun bahas internasional. (lihat I Dewa Putu Wijayana, dan Muhamat Rohmadi, 2006:79).
1.1 LATAR BELAKAN
Sebelum berbicara mengenai pokok pembicaran seperti tertuang dalam judul diatas, ada baiknya saya akan bercerita dahulu mengenai pengalaman saya sewaktu pertama kali saya datang ke pulau jawa Yogyakarta tiga Tahun yang lalu tepatnya di pertengahan bulang Agustus 2007. Saya ingat betul ketika itu, saya hanya berkomunikasi dengan bahasa Mee dengan rekan-rekan mahasiswa sesama etnis. Sebagaimana layaknya orang-orang lain , bahasa Indonesia saya tentu saja di warnai dengan logat Papua yang sanggat kental salah satu linguistik yang paling kental adalah (ya, ng, ah th,te) yang saya miliki. Rekan-rekan dari jawa selalu tersenyum atau sering kali tertawa setiap saat saya mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia yang mengandung bunyi (ng) yang , teh, datang, mengandung, dan sebagainya. Lama saya tidak mengerti ada apa dengan saya, pada hal saya amati tidak ada yang aneh dengan diri, cara berpakaian dan sikap saya. Demikian juga saya sedang belajar bahasa jawa. Teman-teman saya sering terpingkal sewaktu saya tidak bisa mengucapkan atau membedakan bunyi (ng, th) serta bunyi “d, dh”. Ketiga pasang bunyi ini dalam sistem bahasa jawa ternyata perbedaan yang sangat penting. Akan “celakalah “orang-orang mahasiswa-mahasiswi papua yang tidak membedakan kata batuk “batuk dan bathuk “dahi”, yan “yang” wedi “takut” dengan wadhi “pasir” dalam bahasa jawa. Teman-teman saya dari jawa sering mengejek saya. Mereka sangat menikmati batasan- batasan performansi linguistik saya:
- - Wong papua ora tahu ngerujak pentil
- Orang papua itu susah ucapkan bunyi fokal G ya!
- Mas kamu cari anak yaa
- Mas kamu punya dahika tidak
Demikianlah nasip saya selama dua tahun tetapi sekarang juga masih ada teman cowo kuliah yang biasa singgung bahwa kamu suda hamiling yaa! Pada hal maksud saya ambil. Tidak tahu bagimana saya membalas dagelan-dagelan orang-orang jawa itu, pada hal rasanya ada unsur-unsur bahasa yang tidak bisah di ungkapkan oleh teman-teman jawa yang sering menghina saya itu. Mereka juga memiliki keterbatasan linguistik bilah di dengar oleh telinga orang papua. Pendatan atau trans dari jawa yang tinggal di papua sering juga sasaran tertawaan orang papua bilah berbahasa papua.

a. Kenyataan
Kalau tidak ada bahasa secara linguitis lebih unggul dari pada bahasa yang lain, maka tidak ada pulah dialek yang lebih unggul dari pada dialek yang lain. Dialek bahasa papua yang sering dikatakan sebagai bahasa papua memiliki ke khususan. kekhususan linguistik yang tidak memiliki bahasa Papua standar. Keungulan itu misalanya dialek dapat menutup kata-katanya dengan bunyi bersuara dan tidak bersuara, misalnya yan, sa, su,dong,kitong,bap dsb. Kata-kata ini bahasa papua standar yang sebenarnya, yang, saya, sudah, mereka, kita,bab dsb. Karena kelemahan ini, mahasiswa saja kurang memahami bahasa standar bahasa Indonesia yang baik . Sering membuat kesalahan yang fatal sewaktu menulis kata yang, sudah, kita, bab, sayap karena pengaruh pengucapan mereka menuliskan su, kitong, bap,yan,sayab. tetapi mahasiswa-mahasiwa penutur bahasa papua tidak sadar melakukan kesalahan dalam hal ini. Tersubordinasinya suatu bahasa oleh bahasa yang lain sebenarnya bukanya karena alasan-alasan yang bersifat linguistik, tetapi karena sebagian besar karena alasan-alasan yang bersifat sosial.
Pemakaian dialek di atas ini juga mempengaruhi pengunaan kaidah bahasa santung atau bahasa yang baik dan benar, mengapa demikian ?
( lihat Pranowo 2009: 51) ada beberapa persoalan pengunaan berbahasa santung antara lain yakni:
a. Tidak semua orang yang memahami kaidah kesantunan.
b. Ada yang memahami tapi tidak mahir menggunakan kaidah kesantunan
c. Ada yang mahir mengunakan kesantunan dalam berbahasa tapi tidak mengentahui bahwa yang digunakan adalah kaidah kesantunan, dan
d. Tidak memahami kaida santunan dan tidak mahir berbahasa secara santun.
Kenyataan yang sering diungkapkan sehari-hari oleh mahasiswa papua seperti unkapanya ko cepat kesini kalo kita merenungkan unkapan ini kurang sesuai dengan bentuk bahasa yang benar, yang sebenarnya kita bisa menyatakan sobat, saudara, kakak, adik , cepat kesini, karena kita gunakan kata ko maka dengan otomatis intonasinya tinggi sehingga orang yang kita tuju itu kemungkinan bisa jauh dari kita atau pura-pura tidak dengar.
Contoh lain lagi saya menemukan melalui hasil penelitian seperti : anjing kamu dari mana, Seperti ungkapan ini sebenarnya kagum karena temannya sudah lama tidak ketemu, kemudian baru sekali ketemu, tetapi orang yang kita dituju bisa membangkitkan emosi, seharusnya sobat kemana saja selama ini, saya benar-benar kangen kamu ini. Dll.
b. Harapan dan kenyataan
- Di Masa mendatang, menghilakangkan pengelompokan-pengelompokan etnis papua di kota studi Jogjakarta, supaya bisa membangkitkan kedwibahasan dengan baik. Fakta yang ditemukan rata-rata mahasiswa papua tidak bergabung dengan masyarakat sekitarnya, sehinga bahasa logatnya masih terbawah kental .
- Dimasa mendatang, menumbuhkan adanya persatuan bahasa indonesia sebagai bahasa nasional. Fakta yang ditemukan melalui beberapa data, adanya pertumbuhan bahasa dialek papua dipandan sebagai bahasa nasional papua.
- Di masa mendatan, mahasiswa papua harus membidani di bagian jurusan bahasa, terutama bahasa Indonesia. Fakta yang menemukan melalui beberapa data bahwa mahasiswa papua sangat kurang membidani di bagian pendidikan bahasa Indonesia.
- Kedepan, mahasiswa papua harus menyadari batasan-batasan bahasa yang harus di gunakan, fakta melalui penelitian ditemukan bahwa Semakin banyaknya berlaku bahasa dialek papua sebagai bahasa nasional, maka dengan tidak langsung akan mempengaruhi hubungan sosial, pendidikan bahkan mengangu bahasa nasional, bahasa indonesia, sehingga makin hilang pengunaan bahasa yang santung dalam hubungan sosial.




1.2 RUMUSAN MASALAH
Bahasa dialek adalah bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan dan dibina. Pelestarian dan pembinaan tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan jika tidak ada upaya untuk mendokumentasikan bahasa tersebut. Struktur bahasa di papua memang pernah diteliti dan didokumentasikan dari lembaga bahasa salah satunya fonologi bahasa ekagi oleh dharmojo, Willy E.Mandouwen dan Supardi namun, namun dialek bahasa papua yang begitu banyak bahasa di papua belum di dokumentasikan, oleh karena itu hingga saat ini belum dapat diketahui struktur dialek bahasa papua yang umumnya. Mahasiswa masih belum sadar dengan bahasa dialek yang digunakannya. Berdasarkan uraian tersebut, masalah dalam penelitian ini dapat di rumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
Umum
Mengapa Bahasa Indonesia tidak di junjung tinggi sebagai bahasa nasional, sedangkan bahasa daerah dan dialek-dialek papua diperhatikan ?,
Khusus
a. Bagimana memperhatikan batasan-batasan Pemertahanan bahasa dialek papua di jogjakarta?
b. Bagimana membangkitkan bahasa dialek sebagai pengajaran di papua?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuannya utama penelitian ini adalah untuk memenuhi tugas akhir matakuliah Sosiolinguistik, memperdalami, memperluas dan penegetahuan cecara praktik langsung agar bisa memahami bahasa sosial yang sedang berkembang di klayak masyarakat Yogyakarta secara langsung.
Tujuang memilih dengan judul pemertahanan dialek, sebagai masalah sosial, bagi mahasiswa papua diyogyakarata, karena melihatnya klayak mahasiswa papua dengan warga masyarakat Yogyakarta, saling tidak mengerti satu sama lain, dengan persepsi yang berbeda-beda yakni:
- mahasiswa papua belum menyadari bahwa batasan-batasan bahasa yang harus digunakan dengan warga sekitarnya sehinga muncullah persoalan sosial antara warga dengan mahasiswa papua.
- Warga masyarakat Yogyakarta belum menyadari bahwa intonasi yang digunakan oleh mahasiswa papua itu terpengaruh dari logatnya, sehingga timbullah persepsi yang salah bahwa intonasi tinggi yang digunakan mahasiswa papua, itu menandai bahwa marah atau cepat emosi sehingga terjadilah masalah sosial dalam kehidupan.
Dengan makalah ini saya mencoba untuk meluruskan bahkan memberikan penyerangan agar tidak saling menimbulkan masalah-masalah di tengah kehidupan masyarakat dan mahasiswa Yogyakarta.
- Memberikan pemahaman bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa dialek sebagai bahasa ibu agar memahami kontek atas batasan-batasan linguistik.
2. KAJIAN PUSTAKA
1. Bahasa Indonesia dan dialek papua
Dengan adanya situasi persatuan dalam kebinekaan, kebijakan bahasa nasional mengariskan bahwa bahasa Indonesia berfunsi sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi. Sebagai bahasa nasional bahasa resmi adalah lambang semangat kebangsaan, alat penyatuan berbagai masyarakat yang berbeda beda latar belakang kebahasan, kebudayaan dan kesukuanya kedalam satu masyarakat kebahasaan satu masyarakat nasional Indonesia, alat berhubungan antar suku, antar daerah dan antar budaya, sementara itu dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi bahasa Indonesia adalah bahasa resmi pemerintahan, bahasa pengantar di dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional, serta alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi (Halim, 1980,17, Periksa pulah wijayana, 2003;235). Sementara bahasa-bahasa daerah harus tetap dipelihara karena merupakan bagian dari kebudayaan nasional yang hendak dipersatukan, seperti terlihat jelas dalam bunyi kebijakan pengembangan bahasa daerah berikut ini,
“ bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya dihargai dan dipelihara oleh Negara oleh karena bahasa-bahasa itu adalah bagian dari kebudayaan yang hidup”
Beranalogi dengan kebijakan ini, maka bahasa daerah tentu merupakan lambang semangat kedaerahan. Sementara itu, dialek-dialeknya merupakan alat penghubung yang harus dipelihara keberadaanya sebagai pendukung dan pemerkaya bahasa papua standar. Pembinaan bahasa daerah mendapat porsi yang sangat kecil sehingga banyak bahasa-bahasa daerah terancam keberadaanya. (Dewa Putu Wijana 2006:88) Bila bahasa daerah kurang diperatikan, dapat dipastikan dialek-dialeknya juga mengalami nasib yang lebih memperhatingkan. Dalam upaya pembinaan bahasa daerah papua khususnya perluh selalu ditekankan pemeliharaan terhadapdialek-dialek pendukungnya dengan tetap memperhatikan kedudukanya nuntuk tidak melewati fungsi-fungsi yang dimiliki oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

2. Pemertahanan bahasa Dialek Papua
Memang berbagai alasan timbul di klayak kita bahwa mengapa suatu bahasa daerah suku itu sendiri punah atau tidak digunakan lagi yang di gunakan pun tidak menyadari bahasa dialek yang sebenarnya oleh penutur-penuturnya, tetapi penutur asal papua mengunakan bahas dialeh sepapua, gunakan bahasa Satu di antaranya adalah adanya dominasi bahasa atau dialek yang lebih besar baik secara demografis, ekonomis, sosial, atau politis, seperti apa yang dialami oleh dialek papua dari tekanan bahasanya.
Untuk pemertahanan dialek setiap suku masin- masin itu harus perluh sadari mahasiswa papua, kebijakan pembinaan bahasa papua, haruslah memberi peluang yang seluas-luasnya bagi penutur-penutur­nya untuk menggunakan dialek papua sehingga dialek ini bisa menjadi alat komunikasi yang utama dalam ranah keluarga dan masyarakat dalam mengembangkan budaya lo­kalnya (periksa Mey, 1994, 12).
Pemeliharaan sebuah bahasa tidak cukup hanya dengan usaha mendeskripsikan sistem ke­bahasaan dan wilayah pemakaiannya, seperti yang telah dila­kukan oleh para ahli bahasa selama ini. Namun, yang tidak kalah penting dari itu semua adalah penumbuhan rasa bangga dalam diri penutur-penutur dialek papua untuk meng­gunakan bahasanya. Dengan dua usaha di atas, alangka baiknya dialek papua akan tetap bertahan dan memberikan sumbangan kepada orang trans dari luar papua , tetapi disini saya tekankan bahwa untuk dialeknya harus disadari keberadaanya. Bahasa standar yang sedang dituturi diklayak mahasiswa yang mana bisah memahami diantara adanya bahasa daerah yang begitu banyak 240 bahasa , maka bahasa standar ini harus dipertahankan.
3. Pengajaran Dialek Papua


Yang mana selalu sangat terlihat dialek papua Karena memang orang tua untuk mengajarkan dialek papua dan khususnya dialek setiap suku masing-masing kepada anak-anak mereka sehingga timbul kekhawatiran akan punahnya varian bahasa ini bersama-sama dengan budaya yang diwa­rnai dalam beberapa waktu mendatang. Para orang tua, terutama yang ada di perkotaan lebih senang langsung meng­ajarkan bahasa Indonesia, bahasa yang digunakan sebagai medium instruksional di sekolah-sekolah. Banyak di antara mereka berpandangan bahwa pengajaran dialek di setiap sekolah dipakai sebagai mata pelajaran muatan lokal, tetapi sayangnya justru akan menganggu usaha anak dalam menguasai ba­hasa Indonesia. Sebagai akibatnya generasi muda tidak lagi mahir menggunakan bahasa Indonesia yang mana sekarang sangat terlihat di klayak mahasiswa Yogyakarta, ( lihat hendri Guntur 1988: 40) , memang tepat apa bilah kita katakana bahwa kedwibahasan merupakan suatu masalah sosial karena bahasa pada hakikatnya merupakan bagian dari identitas dan jati diri seseorang. Rasa tidak percaya diperlihatkan oleh banyak orang dan pemerintah terhadap para pribadi dan itu merupakan warga Negara yang tidak setia.

3. METODOLOGI
3.1 METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode ini memiliki sifata dan karakteristik yang diangap sangat cocok digunakan untuk penelitian struktur bahasa. (sudaryanto (1986: 62) menegaskan bahwa metode ini menerangkan suatu penelitian yang dilakukan atas dasar fakta yang ada, yang hidup pada penutur-penuturnya, sehingga perian yang diberikan berupa perian bahasa yang dikatakan sifatnya seperti potret sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
3.2 PENGUMPULAN DATA
Sebagai penjelasan lebih lanjut diatas, peneliti menggunakan teknik wawancara, teknik menuliskan sebuah wacana singkat tentang pengalaman lucu. Dalam kegiatan wawancara itu peneliti menuliskan dialek-dialeknya, menulis kesantunan bahasa yang diucapkan oleh penutur dan peneliti menuliskan pengaru-pengaruh sosial bahasa dialek papua dengan orang jawa. Sedangkan kegiatan menuliskan sebuah wacana singkat tentang pengalaman lucu , peneliti menandai pengaru dialek terdap bahasa tulis. Seandainya kata-kata yang tidak sesuai dengan kata-kata yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi objek, kata-kata itu tetap dapat disesuaikan. Selain itu peneliti juga mengumpulkan data dengan jalan obserfasi dan partisifasi jalan mengumpulkan tangapan-tangapan terhadap pengunaan bahasa dialek terhadap warga jogjakarta dan mahasiswa papua di tempat asrama-asrama papua.
3.3 SUMBER DATA
Sumber data dalam penelitian ini adalah semua ciri dan karakteristik pengunaan dialek yang dipakai sebagai dialek umum disamping ratusan dialek-dialek yang ada di papua yang di gunakan oleh penutur asli papua yang berjumlah kira- kira 60 orang, Yang sedang menekuni ilmu di yogyakarta. Data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu lebih khusus dialek dan berbahasa santun. Yang diperoleh dari beberapa informan. Informan-imforman itu ditentukan berdasarkan syarat-syarat imforman berikut:
1. seluruh mahasiswa papua dari sorong sampai merauke tampa mengukur usia dan pendidikan
2. memiliki alat ucap yang utuh
3. dapat berbahasa indonesi4. harus penutur bahasa asli dialeh papua yang sedang berlaku secara umum
5. memiliki alat pendengar yang tidak terganggu sehingga dapat mempermudah peneliti dalam berkomunikasinya.
7. belum banyak pengaruh dari bahasa lain dari luar papua sehingga data yang diperoleh benar-benar asli.
8. wawancara dengan mahasiswa jawa tentang tangapan dialek papua.
Mengenai jumlah imformasi, smarin (1967: 54) memberikan petunjuk bahwa untuk menggambarkan struktur bahasa secara umum, tidak dibutukan lebih dari satu imformasi yang baik. Ini berarti bahwa informan tersebut harus memenuhi semua syarat diatas atau mendekati peryaratan itu.
3.2 DATA PENELITIAN
Sumber data penelitian ini adalah semua ciri dan karakteristi bahasa dialek yang digunakan oleh penutur asli papua yang sedang membidani di kota studi Yogyakarta yang berjumlah kira –kira 30 orang , yang sukunya berbeda –beda yang berdomisili di jogyakarta. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dialek papua dan dan gejala pengaruh sosial masyarakat sekitarnya. Imformasi itu ditentukan berdasarkan syarat syarat informen;
1. Usia minimal 18 tahun dan maksimal 40 tahun dari penguna bahasa dialek papua
2. Warga Jogjakarta usia sekitar minimal 15 tahun dan maksimal 60 tahun
3. Dapat berbahasa Indonesia
4. Harus penutur asli papua dan harus penutur bahasa jawa
5. Memiliki alat kedengaran yang tidak tergangu
Mengenai jumlah informan , samarin 1967: 54) memberikan petunjuk bahwa untuk mengambarkan struktur bahasa secara umum tidak butukan lebih dari satu imformasi yang lebih baik, ini berarti bahwa jumlah imformen harus memenuhi semua syarat diatas.
3. 5 TEKNIK ANALISIS DATA
Data yang dapat observasi itu di inventarisasikan , kemudian mengelompokan gaya bahasa, diksi, intonasi, konsonan , kesantunan bahasa kemudian mengidentifikasikan bahwa diksi dan intonasinya kemudian tuturan yang objeknya didahului, kemudian supjeknya tidak digunakan, dan peredikatnya tidak diikutkan subjek kemudian saya deskripsikan data apa adanya yang saya dapat melalui wawancara, observasi dan kuisioner yang menuliskan teks cerita lucu. lebih jelas saya mengunakan langka-langkah dibawah ini :
1. cacat bunyi-bunyi yang susah diungkapkan setiap suku mewakili 5 orang
2. catat bunyi-bunyi yang selebihnya dari 6 suku
3. catat kemasukan kata-kata dialek pada saat berbicara dari setiap suku
4. catat kemasukan kata-kata dialek dalam bahasa tulis dari setiap suku
5. mengelompokan kalimat yang santun dalam bahasa tulis dari setip suku
6. mengelompokkan kalimat yang tidak santung dalan bahsa tulis dari setiap suku
Setelah lankah-langkah diatas ini dikelompokan, melihat dialek yang sama antara satu suku dengan suku yang lain kemudian dipadukan menjadi dialek umum. Hasil paduan itulah yang saya melaporkan berupa makalah hasil penelitian.
3. KESIMPULAN
Sosiolinguistikadalah caban ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian bahasa secara eksternal, yakni bagimana satuan kebahasan itu digunakan dalam komunikasi didalam masyarakat, baik bahasa ibu, bahasa nasional maupun bahasa internasional.
dengan permasalahan sosial yang terjadi di Jogjakarta diantara mahasiwa papua demgan warga Yogyakarta ini, sala persepsi, sehingga kita sebagai manusia berbudi luhur kita memahami satu sama lain untuk menumbuhkan sikap keadilan, dan sikap saling melengkapi. Dengan ini bukan untuk kita melepaskan bahasa dialek kita namun kita restarikan bahasa dialeknya sebagai bahas ibu dan bahasa nasional, internasional kita dipandang sebagai alat penghubung antara kita dengan warga sekitar kita.
DAFTAR PUSTAKA
- Dewi Putu Wijana, Muhamat Rohadi. 2006. Sosiolinguistik Kajian Teori dan Analisis .Yokyakarta . Pustaka Pelajar.
- Pranowo. 2009. Berbahasa Secara Santung. Yogjakarta : Pustaka Pelajar.
- Sudaryanto, 1986. Metode Linguistik. Yogyakarta : Gaja Mada University Press.
- Samsuri 1986. Bahasa Indonesia Sebagai Wahana Kebudayaan Indonesia ‘Dalam Dewa Putu Wijaya .
- Mey, Jakob L 1994,. Pragumatik : An Introdution , Oxford: Basil Blackwell.
- Taringan Hendri Guntur. 1988. Pengajaran Kedwibahasaan . Bandung : Angkasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apakah anda terinspirasi?