Selasa, 13 Juli 2010

PEMBELAJARAN KECERDASAN GANDA ANAK USIA DINI, QUO VADIS ??

PEMBELAJARAN KECERDASAN GANDA ANAK USIA DINI,
QUO VADIS ??
Anak usia dini belajar dengan caranya sendiri. Guru dan orang tua kerap mengajarkan anak sesuai dengan jalan pikiran orang dewasa. Akibatnya apa yang diajarkan orang tua sulit diterima anak. Gejala itu antara lain tampak dari banyaknya hal yang disukai oleh anak, tetapi dilarang oleh orang tua . Sebaliknya, banyak hal yang disukai oleh orang tua tapi tidak disukai anak. Fenomena tersebut membuktikan bahwa sebenarnya jalan pikiran anak berbeda dengan jalan pikiran orang dewasa. Untuk itu, orang tua dan guru perlu memahami hakikat perkembangan anak dan hakikat PAUD agar dapat memberikan pendidikan yang sesuai dengan jalan pikiran anak (suyanto, 2005).
Kendala lain bagi dunia pendidikan adalah masih banyaknya sekolah terlebih khusus PAUD atau prasekolah yang mempunyai pola pikir tradisional di dalam menjalankan proses belajarnya yaitu sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Kenyataan ini senada dengan yang diungkapkan oleh Seto Mulyadi (2003), seorang praktisi pendidikan anak, bahwa suatu kekeliruan yang besar jika setiap kenaikan kelas, prestasi anak didik hanya diukur dari kemampuan matematika dan bahasa. Dengan demikian sistem pendidikan nasional yang mengukur tingkat kecerdasan anak didik yang semata-mata hanya menekankan kemampuan logika dan bahasa perlu direvisi.
Kecerdasan intelektual tidak hanya mencakup dua parameter tersebut di atas, tetapi juga harus dilihat dari aspek kinetis, musiKal, visual-spatial, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis . Jenis-jenis kecerdasan intelektual tersebut dikenal dengan sebutan kecerdasan ganda (Multiple Intelligences) yang diperkenalkan oleh Howard Gardner pada tahun 1983.
Gardner mengatakan bahwa kita cenderung hanya menghargai orangorang yang memang ahli di dalam kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Kita harus memberikan perhatian yang seimbang terhadap orang-orang yang memiliki berbagai kecerdasan seperti artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, dan lain-lain.
Sangat disayangkan bahwa saat ini banyak anak-anak yang memiliki talenta , tidak mendapatkan reinforcement di sekolahnya. Banyak sekali anak yang pada saat pola pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh guru-guru di sekolah.
Pihak sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi delapan (lebih) kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa (Gardner, 2003).
Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain.
Pola pemikiran tradisional yang menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa memang sudah mengakar dengan kuat pada diri setiap guru di dalam menjalankan proses belajar. Bahkan, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa pihak, pendidikan Taman Kanak-Kanak saat ini cenderung mengambil porsi Sekolah Dasar. Sekitar 99 persen, Taman Kanak-Kanak mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Artinya, pendidikan Taman Kanak-Kanak telah menekankan pada kecerdasan akademik, tanpa menyeimbanginya dengan kecerdasan lain. Hal ini berarti pula bahwa sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh guru-guru masih tetap mementingkan akan kemampuan logika (matematika) dan bahasa.
Dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), guru dan orang tua hendaknya bersinergi guna mengembangkan berbagai jenis kecerdasan, terutama terhadap anak usia dini. Hal ini dimaksudkan agar siswa tidak gagap dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendidkan anak usia dini kiranya perlu diperkenalkan dengan kecerdasan ganda (Multiple Intelligences). Guru hendaknya tidak terjebak pada kecerdasan logika-matemika semata.
Multiple Intelligences yang mencakup delapan (lebih) kecerdasan itu pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ). Semua jenis kecerdasan perlu dirangsang pada diri anak sejak usia dini, mulai dari saat lahir hingga awal memasuki sekolah (7 – 8 tahun).
Kini yang menjadi pertanyaan terbesar, mampukah dan bersediakah setiap insan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mencoba untuk mengubah pola pengajaran tradisional yang hanya menekankan kemampuan logika (matematika) dan bahasa? Bersediakah segenap tenaga kependidikan bekerja sama dengan orang tua bersinergi untuk mengembangkan berbagai jenis kecerdasan pada anak didik mulai dari usia dini di dalam proses belajar yang dilaksanakan di lingkungan lembaga pendidikan formal, non formal dan informal?


Yogyakarta, 16 Januari 2010 Oleh Yanuarius You ( UGM )

Catatan: Tulisan ini Pernah Muat di Media Massa Kolom Wacana/opini BERNAS Yogyakarta, Pada Hari Senin 25 Januari 2010. Sudah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apakah anda terinspirasi?