Senin, 26 April 2010

PERGESERAN BAHASA INDONESIA DI ERA GLOBAL

Pergeseran Bahasa Indonesia di Era Global dan Imlpikasinya terhadap Pembelajaran
Dewasa ini kita hidup dalam era globalisasi, yang dipicu oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di bidang transportasi dan revolusi di bidang komunikasi. Dengan perkembangan yang sangat cepat di bidang transportasi dan komunikasi, arus globalisasi terasa bertambah kuat, sehingga dunia terasa makin datar (Thomas Friedman, 2005). Akibat derasnya arus globalisasi batas negara menjadi kabur dan akhirnya hilang. Tekanan arus globalisasi yang melanda bangsa-bangsa yang sedang berkembang menimbulkan perubahan yang semakin cepat dan luas dalam berbagai wilayah kehidupan. Globalisasi akan meningkatkan pemahaman antarbudaya, memecah batas antara masyarakat dari negara yang berbeda seiring dengan berkembangnya kemitraan dalam berdagang antarnegara. Globalisasi memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Sebagian besar orang menafsirkan sebagai proses pengecilan dunia atau menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah desa kecil, setiap orang bisa berkomunikasi dengan sangat mudah, berhubungan dengan waktu yang singkat, dan dengan biaya yang relatif rendah. Globalisasi adalah akibat dari revolusi teknologi, komunikasi, dan informasi yang dapat berimbas pada tatanan masyarakat, bangsa, dan negara di berbagai belahan dunia. Setiap bangsa di dunia tidak dapat melepaskan diri dari arus global akibat revolusi tersebut. Dengan kondisi seperti itu, persaingan antarwilayah pun semakin tinggi. Siapa yang menguasai komunikasi dialah yang akan menguasai dunia. Bahasa merupakan alat komunikasi di dunia. Oleh karena itu, eksistensinya di tengah arus global harus dicermati.
Arus global berimbas pula pada penggunaan dan keberadaan bahasa Indonesia di masyarakat. Penggunaan bahasa di dunia maya, internet, facebook misalnya, memberi banyak perubahan bagi sturktur bahasa Indonesia yang oleh beberapa pihak disinyalir merusak bahasa itu sendiri. Berlandaskan alasan globalisasi dan prestise, masyarakat mulai kehilangan rasa bangga menggunakan bahasa nasional. Tidak hanya pada rakyat kecil, ‘krisis bahasa’ juga ditemukan pada para pejabat negara. Kurang intelek katanya kalau dalam setiap ucapan tidak dibumbui selingan bahasa asing yang sebenarnya tidak perlu. Hal tersebut memunculkan istilah baru, yaitu ‘Indoglish’ kependekan dari ‘Indonesian-English’ untuk fenomena bahasa yang kian menghantam bahasa Indonesia. Sulit dipungkiri memang, bahasa asing kini telah menjamur penggunaannya. Mulai dari judul film, judul buku, judul lagu, sampai pemberian nama merk produk dalam negeri. Kita pun merasa lebih bangga jika lancar dalam berbicara bahasa asing. Namun, apapun alasannya, entah itu menjaga prestise, mengikuti perkembangan zaman, ataupun untuk meraup keuntungan, tanpa kita sadari secara perlahan kita telah ikut andil dalam mengikis kepribadian dan jati diri bangsa kita sendiri.
Sekarang ini penggunaan penggunaan bentuk ‘Inggris’ sudah banyak menggejala. Dalam bidang internet dan komputer kita banyak menggunakan kata mendownload, mengupload, mengupdate, dienter, direlease, didiscount, dan lain sebagainya. Tidak hanya dalam bidang komputer saja, di bidang lain pun sering kita jumpai. Selain bahasa Asing, kedudukan bahasa Indonesia juga semakin terdesak dengan pemakain bahasa-bahasa gaul di kalangan remaja. Bahasa gaul ini sering kita temukan dalam pesan singkat atau sms, chatting, dan sejenisnya. Misalnya dalam kalimat’gue gitu loh..pa sich yg ga bs’ dalam kalimat tersebut penggunaan kata ganti aku tidak dipakai lagi.
1. PERGESERAN BAHASA INDONESIA
Fenomena di atas dapat mengakibatkan pergeseran bahasa Indonesia. Fenomena pemertahanan dan pergeseran bahasa sebenarnya telah ada sejak bahasa-bahasa itu mulai mengadakan kontak dengan bahasa lainnya (Grosjean 1982). Kontak antardua suku atau suku bangsa yang masing-masing membawa bahasanya sendiri-sendiri lambat laun mengakibtakan terjadinya persaingan kebahasaan. Pada umumnya, di dalam persaingan kebahasaan terjadi fenomena-fenomena kebahasaan yang diawali dengan kedwibahsaan, diglosia, alih kode/campur kode, interferensi, dan akhirnya permertahanan dan pergeseran bahasa. Jika satu bahasa lebih dominan, lebih berprestise, atau lebih modern atau bahkan mungkin lebih “superior” daripada bahasa lain, bahasa tersebut dipastikan dapat bertahan, sedangkan lainnya dalam beberapa generasi akan ditinggalkan oleh penuturnya. Tidak jarang bahasa yang ditelantarkan oleh penuturnya itu lambat laun mengakibatkan kematian bahasa (Dorian 1982).
Dalam kepustakaan sosiolinguistik, pemertahanan dan pergeseran bahasa merupakan fenomena yang menarik. Terminologi pemertahanan dan pergeseran bahasa pertama kali diperkenalkan oleh Fishman pada tahun 1964 yang selanjutnya dikembangkan oleh Susan Gal (1979) yang meneliti masalah pilihan dan pergeseran bahasa di Oberwart, Austria timur, dan Nancy Dorian  (1981) yang mengkaji pergeseran bahasa Gaelik oleh bahasa Inggris di Sutherland Timur, Britania bagian utara. Pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa erat kaitannya dengan ranah yang berkaitan dengan pilihan bahasa dan kewibahasaan.
Kajian pemertahanan dan pergeseran bahasa perlu dikaitkan dengan konsep pemilihan bahasa. Pemahaman tentang pilihan bahasa dalam ranah yang dihubungkan dengan konsep diglosia di atas sangat penting artinya karena dengan begitu pemertahanan dan kebocoran diglosia yang menyebabkan pergeseran bahasa dapat dilihat. Pemertahanan dan pergeseran bahasa serta kepunahan suatu bahasa bertitik-tolak dari kontak dua bahasa dalam suatu masyarakat. Gejala kepunahan bahasa akan tampak dalam proses yang cukup panjang. Mula-mula tiap-tiap bahasa masih dapat mempertahankan pemakaiannya pada ranah masing-masing. Kemudian pada suatu masa transisi masyarakat tersebut menjadi dwibahasawan sebagai suatu tahapan sebelum kepunahan bahasa aslinya (BI) dan dalam jangka waktu beberapa generasi mereka bertrasformasi menjadi masyarakat ekabahasawan kembali. Dengan demikian, pergeseran bahasa mencakup pertama-pertama kedwibahasaan (seringkali bersama diglosia) sebagai suatu tahapan menuju keekabahasaan (BI yang baru).
Demikian pula halnya dengan pemertahanan/pergeseran bahasa, ada aspek-aspek sosial psikologis pendukung suatu bahasa yang dapat diandalkan guna menangkis serangan pemakaian bahasa dari luar atau paling tidak dapat memperkuat basis perlawanan terhadap musuh.
Ada banyak faktor yang menyebabkan pergeseran dan kepunahan suatu bahasa. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di berbagai tempat di dunia, faktor-faktor tersebut seperti loyalitas bahasa, konsentrasi wilayah pemukiman penutur, pemakaian bahasa pada ranah tradisional sehari-hari, kesinambungan peralihan bahasa-ibu antargenerasi, pola-pola kedwibahasaan, mobilitas sosial, sikap bahasa dan lain-lain. Menurut Romaine (1989) faktor-faktor itu juga dapat berupa kekuatan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, kelas sosial, latar belakang agama dan pendidikan, hubungan dengan tanah leluhur atau asal, tingkat kemiripan antara bahasa mayoritas dengan bahasa minoritas, sikap kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, perkawinan campur, kebijakan politik pemerintah terhadap bahasa dan pendidikan kelompok minoritas, serta pola pemakaian bahasa.
Sesungguhnya, terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pemertahanan dan pergeseran bahasa di masyarakat. Namun, faktor-faktor itu bervariasi antarsatu wilayah dengan wilayah lainnya. Faktor-faktor penyebab terjadinya kasus pergeseran bahasa di Oberwart-Austria berbeda dari faktor-faktor penyebab atas kasus yang sama di Sutherland-Scotlandia ataupun kasus pergeseran dan pemertahanan bahasa Lampung di Lampung. Grosjean (1982:107) mengelompokkan faktor-faktor itu ke dalam lima faktor: sosial, sikap, pemakaian, bahasa, kebijakan pemerintah, dan faktor-faktor lain. Adanya pola-pola sosial dan budaya yang beragam dalam suatu masyarakat ikut menentukan identitas sosial dan keanggotaan kelompok sosialnya, faktor-faktor sosial itu meliputi  status sosial, kedudukan sosial ekonomi, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan atau jabatan, serta keanggotaan seseorang dalam suatu jaringan sosial.
2. SIKAP BAHASA
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional harus disikapi bersama termasuk dalam pengajarannya. Bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai alat komunikasi mempunyai peran sebagai penyampai informasi. Kebenaran berbahasa akan berpengaruh terhadap kebenaran informasi yang disampaikan. Berbagai fenomena yang berdampak buruk pada kebenaran berbahasa yang disesuaikan dengan kaidahnya, dalam hal ini berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Globalisasi memang tidak dapat dihindari. Akulturasi bahasa nasional dengan bahasa dunia pun menjadi lebih terasa perannya. Menguasai bahasa dunia dinilai sangat penting agar dapat bertahan di era modern ini. Namun sangat disayangkan jika masyarakat menelan mentah-mentah setiap istilah-istilah asing yang masuk dalam bahasa Indonesia. Ada baiknya jika dipikirkan dulu penggunaannya yang tepat dalam setiap konteks kalimat. Sehingga penyusupan istilah-istilah tersebut tidak terlalu merusak tatanan bahasa nasional.
3. BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR
Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar mempunyai beberapa konsekuensi logis terkait dengan pemakaiannya sesuai dengan situasi dan kondisi. Pada kondisi tertentu, yaitu pada situasi formal penggunaan bahasa Indonesia yang benar menjadi prioritas utama. Penggunaan bahasa seperti ini sering menggunakan bahasa baku. Kendala yang harus dihindari dalam pemakaian bahasa baku antara lain disebabkan oleh adanya gejala bahasa seperti interferensi, integrasi, campur kode, alih kode dan bahasa gaul yang tanpa disadari sering digunakan dalam komunikasi resmi. Hal ini mengakibatkan bahasa yang digunakan menjadi tidak baik.
Berbahasa yang baik yang menempatkan pada kondisi tidak resmi atau pada pembicaraan santai tidak mengikat kaidah bahasa di dalamnya. Ragam berbahasa seperti ini memungkinkan munculnya gejala bahasa baik interferensi, integrasi, campur kode, alih kode maupun bahasa gaul. Kodrat manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari adanya interaksi dan komunikasi antarsesamanya. Bahasa sebagai sarana komunikasi mempunyai fungsi utama bahasa adalah bahwa komunikasi ialah penyampaian pesan atau makna oleh seseorang kepada orang lain. Keterikatan dan keterkaitan bahasa dengan manusia menyebabkan bahasa tidak tetap dan selalu berubah seiring perubahan kegaiatan manusia dalam kehidupannya di masyarakat.
Perubahan bahasa dapat terjadi bukan hanya berupa pengembangan dan perluasan, melainkan berupa kemunduran sejalan dengan perubahan yang dialami masyarakat. Berbagai alasan sosial dan politis menyebabkan banyak orang meninggalkan bahasanya, atau tidak lagi menggunakan bahasa lain. Dalam perkembangan masyarakat modern saat ini, masyarakat Indonesia cenderung lebih senang dan merasa lebih intelek untuk menggunakan bahasa asing. Hal tersebut memberikan dampak terhadap pertumbuhan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa. Bahasa Inggris yang telah menjadi raja sebagai bahasa internasional terkadang memberi dampak buruk pada perkembangan bahasa Indonesia. Kepopuleran bahasa Inggris menjadikan bahasa Indonesia tergeser pada tingkat pemakaiannya.
Berbagai penyebab pergeseran pemakaian bahasa Indonesia, tidak hanya disebabkan oleh bahasa asing tetapi juga disebabkan oleh adanya interferensi bahasa daerah dan pengaruh bahasa gaul. Dewasa ini bahasa asing lebih sering digunakan daripada bahasa Indonesia hampir di semua sektor kehidupan. Sebagai contoh, masyarakat Indonesia lebih sering menempel ungkapan “No Smoking” daripada “Dilarang Merokok”, “Stop” untuk “berhenti”, “Exit” untuk “keluar”, “Open House” untuk penerimaan tamu di rumah pada saat lebaran, dan masih banyak contoh lain yang mengidentifikasikan bahwa masyarakat Indonesia lebih menganggap bahasa asing lebih memiliki nilai. Sehubungan dengan semakin maraknya penggunaan bahasa gaul yang digunakan oleh sebagian masyarakat modern, perlu adanya tindakan dari semua pihak yang peduli terhadap eksistensi bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan.
Dunia pendidikan yang syarat pembelajaran dengan media bahasa menjadikan bahasa sebagai alat komunikasi yang primer. Sejalan dengan hal tersebut, bahasa baku merupakan simbol dalam dunia pendidikan dan cendekiawan. Penguasaan Bahasa Indonesia yang maksimal dapat dicapai jika fundasinya diletakkan dengan kokoh di rumah dan di sekolah mulai TK (Taman Kanak-kanak) sampai PT (Perguruan Tinggi). Akan tetapi, fundasi ini pada umumnya tidak tercapai. Di berbagai daerah, situasi kedwibahasaan merupakan kendala. Para guru kurang menguasai prinsip-prinsip perkembangan bahasa anak sehingga kurang mampu memberikan pelajaran bahasa Indonesia yang serasi dan efektif.
Rusyana, 1984:152 menyatakan bahwa dalam membina masyarakat akademik, penggunaan bahasa yang tidak baik dan tidak benar akan menimbulkan masalah. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dianggap mempunyai peranan dalam menuju arah pembangunan masyarakat akademik idaman.
Kurangnya pemahaman terhadap variasi pemakaian bahasa berimbas pada kesalahan penerapan berbahasa. Secara umum dan nyata perlu adanya kesesuaian antara bahasa yang dipakai dengan tempat berbahasa. Tolok ukur variasi pemakaian bahasa adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan parameter situasi. Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma yang berlaku dan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia (Sugono, 1994: 8).
a. Bahasa Indonesia yang baik
Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan yang berlaku. Misalnya, dalam situasi santai dan akrab, seperti di warung kopi, pasar, di tempat arisan, dan di lapangan sepak bola hendaklah digunakan bahasa Indonesia yang tidak terlalu terikat pada patokan. Dalam situasi formal seperti kuliah, seminar, dan pidato kenegaraan hendaklah digunakan bahasa Indonesia yang resmi dan formal yang selalu memperhatikan norma bahasa.
b. Bahasa Indonesia yang benar
Bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan aturan atau kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Kaidah bahasa itu meliputi kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat, kaidah penyusunan paragraf, dan kaidah penataan penalaran. Jika kaidah ejaan digunakan dengan cermat, kaidah pembentukan kata ditaati secara konsisten, pemakaian bahasa dikatakan benar. Sebaliknya jika kaidah-kaidah bahasa kurang ditaati, pemakaian bahasa tersebut dianggap tidak benar atau tidak baku.
Hymes (1974) dalam Chaer (1994:63) mengatakan bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni :
a) Setting and Scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan. Contohnya, percakapan yang terjadi di kantin sekolah pada waktu istirahat tentu berbeda dengan yang terjadi di kelas ketika pelajaran berlangsung.
b) Participants, yaitu orang- orang yang terlibat dalam percakapan. Contohnya, antara karyawan dengan pimpinan. Percakapan antara karyawan dan pimpinan ini tentu berbeda kalau partisipannya bukan karyawan dan pimpinan, melainkan antara karyawan dengan karyawan.
c) Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan. Misalnya, seorang guru bertujuan menerangkan pelajaran bahasa Indonesia secara menarik, tetapi hasilnya sebaliknya, murid-murid bosan karena mereka tidak berminat dengan pelajaran bahasa.
d) Act Sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan.
e) Key, yaitu menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan.
f) Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan atau bukan.
g) Norm, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan.
h) Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan.
Sebenarnya apabila kita mendalami bahasa menurut fungsinya yaitu sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, maka bahasa Indonesia merupakan bahasa pertama dan utama di negara Republik Indonesia.
Bahasa daerah yang berada dalam wilayah republik bertugas sebagai penunjang bahasa nasional, sumber bahan pengembangan bahasa nasional, dan bahasa pengantar pembantu pada tingkat permulaan di sekolah dasar di daerah tertentu untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain. Jadi, bahasa-bahasa daerah ini secara sosial politik merupakan bahasa kedua.
Selain bahasa daerah, bahasa-bahasa lain seperti bahasa Cina, bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Jerman, dan bahasa Perancis berkedudukan sebagai bahasa asing. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa asing, bahasa-bahasa terebut bertugas sebagai sarana perhubungan antarbangsa, sarana pembantu pengembangan bahasa Indonesia, dan alat untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern bagi kepentingan pembangunan nasional. Jadi, bahasa-bahasa asing ini merupakan bahasa ketiga di dalam wilayah negara Republik Indonesia.
4. IMPLEMENTASI TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
1.Inovasi Pembelajaran Berbasis ICT (Information, Communication and Technology)
Di era global dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, seharusnya bisa kita manfaatkan dalam pemertahanan bahasa Indonesia. Salah satu hal yang dapat kita lakukan adalah dengan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis ICT (Information, Communication and Technology). Pemanfaatan ICT untuk pendidikan sudah menjadi keharusan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.  Berbagai aplikasi ICT sudah tersedia dalam masyarakat dan sudah siap menanti untuk dimanfaatkan secara optimal untuk keperluan pendidikan. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk sesuai dengan fungsinya dalam pendidikan. Menurut Indrajut (2004), fungsi teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan dapat dibagi menjadi tujuh fungsi, yakni: (1) sebagai gudang ilmu, (2) sebagai alat bantu pembelajaran, (3) sebagai fasilitas pendidikan, (4) sebagai standar kompetensi, (5) sebagai penunjang administrasi, (6) sebagai alat bantu manajemen sekolah, dan (7) sebagai infrastruktur pendidikan.
Merujuk pada ketujuh fungsi tersebut dapat dipahami bahwa ICT dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya dalam dunia pendidikan. Maka dari itu, perlu adanya pemanfaatan ICT dalam dunia pendidikan, aplikasi nyata dalam dunia pendidikan misalnya dengan memanfaatkan ICT sebagai alat bantu pembelajaran bahasa Indonesia. Pemanfaatan ICT dalam pembelajaran bahasa misalnya dengan memanfaatkan blog sebagai wadah kreatifitas siswa dalam meningkatkan kemampuan menulisnya. Selain itu, penggunaan media pembelajaran yang berbasis ICT akan memudahkan siswa dalam menerima dan memahami pelajaran yang disampaikan.
2.Pembelajaran Bahasa pada Ranah Multikultural
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak lain, realitas “multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang dapat menjadi “integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut. Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Ditambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya. Oleh karena itu perlu dikembangkan pendidikan yang berbasis multikultur.
Asy’arie (2003) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.
Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Blum dalam Sparingga (2003) mengatakan bahwa ada empat nilai yang berbeda namun saling berhubungan dalam pendidikan untuk masyarakat multikultural, yaitu antirasisme, multikulturalisme, komunitas antar-ras, dan penghargaan terhadap manusia sebagai individu.
Dalam era global pembelajaran bahasa Indonesia dalam konteks multikultur sangat perlu diterapkan. Pembelajaran bahasa Indonesia pada masyarakat Indonesia yang multikultur sudah seharusnya dilaksanakan dengan pembelajaran yang berbasis multikultur. Selain itu, pembelajaran bahasa dengan memanfaatkan kearifan lokal akan lebih bermakna dan dapat melestarikan budaya Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
Asy’arie, Musa . ”Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa” dalam harian Kompas 4 September 2003.
Dorian, N.  1982. Language Death: The Life Cycle of a Scottish Gaelic Dialect. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
________. “Language Loss and Maintenance in Language Contact Situations”. Dalam Lambert dan B. Freed (ed). The Loos of Language Skills. Rowley, Massacusatt: Newbury House.
Chaer, Abdul. 1994.  Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta.
Fishman, Joshua A. 1990 Language and Ethnicity in Minority  Sociolinguistic Perspectives. Cleveden: Multilingual Matters Ltd.
Friedman Thomas, L. 2005. The World is Flat.
Gal, Susan. 1979  Language Shift: Social Determinants of Linguistic Change in Bilingual Austria. New York: Academic Press.
Groesjean, Fracois. 1982. Life with Two Languages. Cambridge: Harvard University Press.
Rokhman, Fathur. 2003. Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik di Banyumas. Disertasi. Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada.
_______________. 2006. Membangun Komunikasi Lintas Budaya yang Bermakna dalam Masyarakat Multikultural: Studi Sosiolinguistik. Pidato Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Universitas Negeri Semarang.
Romaine, Suzanne. 1989  Biliangualism. Oxford: Basil Blackwell.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan: Himpunan Bahasan. Penerbit: Diponegoro.
Sugono, Dendy. 1994. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apakah anda terinspirasi?